Raja Ampat dan Masa Depan Manusia

 

Media sosial tengah digemparkan dengan krisis lingkungan dalam bentuk illegaloging yang menimpa nasib Raja Ampat dengan segala budaya dan keindahan ekosistem alam nya yang masih asri. Menurut laman TEMPO greenpeace membeberkan  ancaman tambang nikel terhadap ekowisata Raja Ampat. Menurut mereka bahwa yang terancam adalah tidak hanya biota laut tapi satwa-satwa bumi Papua ikut masuk daftar ancaman hilirisasi nikel. Kawasan Raja Ampat yang memiliki kekayaan alam sebesar 75% untuk spesies terumbu karang di dunia, 1.400 jenis ikan-ikan  karang dan 700 invertebrata jenis moluska. Salah satu satwa yang terancam dan satu-satunya yang hanya ada di Raja Ampat adalah Wilson's bird-of-paradise atau cendrawasi botak. 

Kejahatan tambang nikel tidak main-main, mereka mengkeruk Pulau Gag, Pulau Kawe dan Pulau Manuran di kepulauan Raja Ampat. Padahal undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah, pesisir dan pulau-pulau kecil, melarang penambangan di ketiga pulau tersebut. Menurut data ada 500 lebih hektar hutan dan vegetasi alam di babat habis di ketiga pulau tersebut. Bisa dibayangkan kan? Bahwa bumi Indonesia bisa hangus hanya karena kerakusan amoral manusia. Ekosistem laut pun ikut terancam karena hilir kapal pembawa nikel yang lalu lalang. 

Jadi sebetulnya hingga tahun ini kita sudah terlalu banyak kehilangan alam dan ekosistemnya. Dan kasus ini menambah daftar panjang permasalahan krisis lingkungan. Lantas apa yang harus kita lakukan? Bahkan bagaimana nasib manusia kedepan jika alam dan ekosistemnya terus-terusan jadi santapan manusia serakah? Bentuk tindakan kriminalitas ini layak disebut pemerkosaan, Seyyed Husein Nasr saja menyebut tindakan ini seperti seseorang melakukan transaksional dengan pelacur, hanya menikmati namun tidak bertanggung jawab. Tapi kalau tidak berlebihan saya menyebutnya ini tindakan pemerkosaan.

Pasalnya tindakan ini bukan hanya mengancam ekosistem alam, tapi ekologi manusia. Mengapa? Karena ekosistem alam sangat menentukan eksistensi kehidupan manusia, dimana mereka akan terus berinteraksi dan memiliki koneksi bertukar energi dll. Bayangkan jika manusia tanpa kehadiran alam beserta ekosistemnya? Makanya kerusakan alam jangan dilihat sempit, tapi coba lihat bagaimana nasib kehidupan manusia kedepan jika alam terus habis dikeruk?

Ini yang saya sebut bahwa alam dilihat objek untuk profit oriented. Tidak salah jika A Sonny Keraf dan Arnee Naes menyebutnya sebagai degradasi moralitas dan kesalahan filosofis manusia dalam melihat alam penyumbaang besar terjadinya krisis lingkungan, salah satu kesalahannya adalah alam diperlakukan dan dilihat sebatas benda yang profan (desakralisasi). Seyyed Husein Nashr menambahkan bahwa terjadinya krisis ekologi global disebabkan krisis spiritualitas dan religiusitas manusia, makanya harus diajak pada sisi agamanya agar melihat alam dengan sakralitasnya. 

Akhirnya, jika begitu, maka nasib manusia akan sangat tergantung juga pada nasib ekologi kedepan. Sejauh mana kita bisa melindungi dan menjaga alam adalah cara hifdzun nafs, bentuk penjagaan diri untuk keberlangsungan eksistensi manusia. Kita melindungi dan menjaga alam adalah bentuk implementasi spiritualitas kita. 

Kalau Indonesia masih ingin disebut sebagai peradaban maka tidak pantas kerusakan dan krisis alam ini dibiarkan tanpa ada penanganan dan pengelolaan secara tanggung jawab. Teknologi dengan segala kecanggihannya jangan digunakan kejahatan dalam bentuk kriminalitas terhadap alam lingkungan. Lama-lama jika dibiarkan dalam waktu tempo yang panjang, maka manusia akan kehilangan peradaban dan tidak akan ada lagi bumi peradaban di Indonesia. Oleh sebab itu membina peradaban Indonesia akan sangat tepat menggunakan pola Dr. Raghib As Sirjani yang membangun peradaban dengan pola interaksi seimbang dengan Tuhan, dengan manusia, serta alam sekitarnya, seperti bumi beserta tambang dan perbendaharaan lainnya.

Mari kita jaga alam Indonesia atas nama moralitas agama dan kelangsungan hidup umat manusia. Jaga Raja Ampat, Jaga bumi Papua. 

#saverajaampat

Komentar

Posting Komentar