Pluralisme atau Toleransi?

Sutan Irawansyah

Sadari atau tidak ternyata kedua istilah diatas selain sering terbentur juga kita selalu dibuat abu abu dan terjebak diantara keduanya, antara plural dan toleran. Ini saya selalu sadari karena melihat tindakan publik figur atau pejabat elit muslim yang mengunjungi gereja, natalan dst yang dinilai dan mengklaim dirinya menjungjung tinggi toleransi umat beragama, dan si paling toleran, apakah iyaa wujud toleransi seperti itu? Perlu di tinjau ulang? 

Memang betul, diskursus wacana toleransi saya kira telah lama selesai, tapi terkadang menjadi kajian isu yang kembali hangat ketika diramaikan dengan tindakan salah satu elit yang mengunjungi perayaan, peribadatan agama lain dengan alasan memupuk kerukunan agama, atau aktivitas interaksi lain antar umat beragama yang bersentuhan langsung dengan kepercayaan.

Jadi tidak ada salahnya jika kajian toleran kita angkat lagi, dan terus saling mengingat kan satu sama lainnya. 

Maraknya berita isu fenomena wacana tentang toleransi di negeri kita, sadari atau tidak secara bertahap memberikan arti dan nilai toleransi tersendiri bagi kita, sehingga sikapnya menjadi cerminan tentang toleransi seperti apa yang tengah dipraktekkan di Indonesia. 

Jika kita perhatikan, berita fenomena toleransi sering di sandingkan dengan isu kepercayaan, seperti kalimat toleransi antar umat beragama, toleransi antar agama dll. Padahal toleransi tidak sependek itu, bahwa kesadaran akan masyarakat yang majemuk dengan keragaman suku, budaya, hingga ras dan semuanya berpegang pada prinsip kepercayaan masing masing itu pun bagian toleransi.

Tapi mengapa kata toleransi sering digaet kan dengan kata agama? Seolah olah agama selalu menjadi pemicu kegaduhan, keributan dst, sehingga dinilai intoleran, maka perlu toleransi antar agama. Seperti seorang muslim yang tidak mengucapkan selamat natal kepada umat agama yang merayakannya dianggap intoleran, atau ketika mendakwahkan agamanya dan mengajak kepada umat beragama lain sering dinilai intoleran juga, terutama Islam sering disalahkan dalam hal ini, seperti tidak boleh yakin akan kebenaran dan pegang teguh pada agama Islam dalam wujud bentuk mendakwahkannya. Atau lebih fatalnya dinilai intoleran ketika menganggap agamanya yang paling benar. Jadi ketika menganggap agama lain sama sama memiliki nilai kebenaran, dan dianggap sama sama benar itulah toleransi sejati. 

Inilah yang terjadi di negeri kita, tercampur nya toleransi dan pluralisme. Bahkan terkadang kita selalu tidak sadar bahwa kita ternyata mengamalkan keyakinan pluralis di tengah tengah nama toleransi. 

Sebenarnya jika kita usut inilah wajah post-modern yang diwarnai dengan doktrin pluralisme beragama. Bahkan selain itu, post-modernisme selalu menjadikan fundamentalisme sebagai musuh utamanya dan cara menghadapinya adalah menebar pluralisme. Dan akar utama pluralisme agama adalah nihilisme dan relativisme. 

Jadi sebenarnya sasaran utama doktrin pluralisme adalah agama dan kepercayaan. Sebab begitu seseorang membicarakan pluralisme secara sosiologis maka secara berbarengan dia pun membicarakan pluralisme secara teologis. 

Penyebaran paham pluralisme beragama sebenarnya opsi b dari gagalnya sekularisme, karena semakin tersebar malah semakin bertambah suburnya praktek keagamaan. Hingga Peter Ludwig Berger seorang sosiolog Amerika yang mendukung pluralisme beralasan, meskipun agama menjadi faktor sosial yang begitu kuat, namun pluralisme yang menglobal telah mengubah keberagamaan tiap individu. 

Lebih ekstream dari Berger, Diana L. Eck mengatakan pluralisme bukan sekedar toleransi antar umat beragama, tidak pula sekedar menerima pluralitas. Dalam bukunya saja, dia menyatakan pluralisme adalah peleburan agama-agama menjadi satu wajah baru yaitu realitas keagamaan yang plural. Dari narasi itu terlihat muatan relativisme yang begitu kuat. Karena dia menyarankan agar agama bersedia membuka diri dan menerima kebenaran agama lain. 

Jadi pluralisme bukan prinsip toleransi, melainkan relativitas kebenaran yang menganggap "semua agama adalah benar dan sama". Hari ini anggapan terakhir tampak tak terlihat secara terang terangan, tapi ekspresi ekspresi nya mengarah kesana. 

Dr. Muhammad Legenhausen mengkritik keras doktrin pluralisme ini, menurutnya tujuan pluralisme untuk membangun toleransi itu baik tapi terlepas apapun tujuannya, konsepnya salah. Bahkan bagi Buya Hamka orang yang menyatakan semua agama adalah benar, sebenarnya dia sendiri tidak beragama. 

Maka bagi saya, justru anggapan semua agama adalah benar ditengah tengah agama yang lain menunjukkan dia bertentangan dengan ucapanya sendiri, karena dia menganggap anggapan barunya itu adalah benar. Sehingga tidak ada klaim semua agama itu benar. 

Semoga menjadi bahan refleksi kita

Wallahu a'lam





Komentar