AI and the death of expertise


Apakah artificial intelegent mampu menggantikan kepakaran? Atau sebelum muncul AI kepakaran memang sudah mati? Sehingga AI mendapatkan posisi yang menguntungkan? Kita simak saja pembahasan dibawah ini.

Sebelum kita bahas AI, kita akan ulas dulu soal matinya kepakaran, atau dalam bahasa inggris disebut dengan the death of expertise. Apa itu matinya kepakaran? Nah, menurut Tom Nichols dalam buku yang berjudul sama menyebutkan bahwa matinya kepakaran adalah era dimana manusia sudah tidak lagi percaya pada ahli atau pakar pada bidang tertentu, akibatnya semua manusia berhak memiliki kebenaran versi dirinya dan memegang kendali atas hal tersebut. Matinya kepakaran ini ditandai dengan semua society percaya bahwa dirinya pakar dalam semua hal lalu memilih menolak argumentasi pakar. 

Jangan heran jika era ini banyak gelar profesor di medsos tanpa kredibilitas yang teruji, tapi anehnya masyarakat mempercayai. Masa ada orang yang baru baca buku sehari jadi ahli? Nah ini era matinya kepakaran. Saya kira pesan Imam Syafi'i perlu direnungkan juga yah, bahwa ketika beliau mendapatkan ilmu baru semakin merasa bodoh. Kalau begitu, Imam Syafi'i tidak merasa pintar dan ahli, padahal track record keilmuannya sangat teruji. Hari ini banyak sekali yang mengaku ahli padahal belajar baru sehari. 

Pokoknya, cirinya adalah pendapat ahli tidak dihargai dan masyarakat bebas berpendapat dengan melawan pengetahuan yang sudah mapan. Tom Nichol menyampaikan lagi bahwa hari ini kita hidup di era banyak orang merasa pendapat mereka sama berharganya dengan pendapat ahli. Akhirnya banyak manusia menolak total pada pengetahuan yang sudah terbukti dan teruji. Semua orang bisa jadi psikolog, semua orang bisa jadi filsuf dll dengan menolak pendapat ahli filsafat dan ahli psikologi. 

Tom Nichols juga mengingatkan bahwa hari ini media sosial membuka akses selebar mungkin sehingga memungkinkan semua orang menerima dan berpendapat sebebasnya. Tapi ini membuat kita rentan miss-informasi. Internet memberikan akses opini masyarakat yang begitu luas tanpa bergantung pada kepakarannya. Tidak heran jika efeknya adalah suara pakar menjadi tenggelam disebabkan opini masyarakat yang tidak berdasar.

Dan fenomena ini semakin diperparah dengan hadirnya artificial intelegent. Faktanya masyarakat tidak terkecuali mahasiswa lebih mempercayai mesin pencari ketimbang buku-buku yang seharusnya menjadi santapan mereka. Efeknya adalah kematangan intelektual mahasiswa tidak terbentuk dengan optimal, karena keseringan disuguhkan dengan penemuan, opini yang sifatnya instan. Kalau masyarakat mahasiswa memilih AI sebagai jalan penyelesaian atau penelitian tanpa terjun kelapangan melahap lembaran-lembaran kertas, maka dia gagal dan tidak perlu jadi mahasiswa. Buat apa buang-buang waktu duduk di bangku kampus yang ujungnya hanya mencaplok penemuan hasil AI?

Saya kira hari ini matinya kepakaran tidak hanya bentuk distrust saja. Tapi pelarian masyarakat atau mahasiswa pada pemanfaatan yang sifatnya instans termasuk matinya kepakaran. Akibatnya intelektual mereka menjadi mentah dan prematur. Jangan aneh jika satu saat AI adalah benar dan pakar adalah salah. 

Era sekarang adalah era penggiringan manusia pada tawaran yang menggiurkan, dimana manusia terjebak pada kenyamanan otomatisasi. Segalanya bisa dicari dalam hitungan detik, argumentasi mesin pencari di terima tanpa ditimbang dan diperhatikan, opini ditentukan oleh algoritma  yang menyesuaikan dengan kebiasaan manusia. Makanya era ini berpikir kritis adalah perlawanan dan pemberontakan karena bukan lagi kempanan. Jika begitu maka analisis tajam dari hasil mesin pencari adalah bentuk perlawanan dan keberanian intelektual. 

"Teknologi menggoda kita untuk berhenti berpikir. Di era AI, berpikir kritis adalah pemberontakan"

Sherry Turkle

Terakhir, Tom Nichol memberi pesan bahwa orang yang merasa cerdas karena telah mencari di internet, sama seperti orang yang berpikir mereka perenang yang hebat hanya karena basah setelah melewati hujan badai. 


Komentar