Sutan Irawansyah
Permadi Arya atau yang bisa disapa Abu Janda adalah nama yang lekat dengan tindakannya yang selalu kontroversi. Saya rasa nama ini selalu identik dengan tindakan dan perilakunya yang unik, yaa tidak jauh beda dengan namanya yah. Tapi belakangan ini saya lihat beberapa postingan di laman instagram miliknya yang selalu mengarah pada statement dan narasi pembelaan terhadap kaum minoritas mengatasnamakan toleransi beragama. Postingan terakhirnya pada tanggal 9 Juni sedang menyoroti aktivis kafir Greta Thunberg yang menurutnya dinilai gagah dan berani menaiki kapal bawa bantuan ke Gaza, mungkin sampai kalimat sini tidak terlalu menggelitik, tapi narasi selanjutnya yang membuat saya agak geram, dia bilang, "Greta Thunberg peduli Palestina bukan cuman omon-omon, seperti kalian aktivis Muslim Indonesia yang cuma koar-koar doang di medsos ujung-ujungnya cuma ngepul donasi, berangkat dong kayak Greta Thunberg. Fatwa jihad sudah keluar, katanya takut cuman sama Allah, kok ayam sayur kicep nggak berani berangkat, cuma berani di medsos doang? jangan-jangan peduli Palestina cuman modus cari makan dari komisi donasi?"
Sebenarnya yang dia bela itu siapa? Aktivis kafir atau Palestina?
Tapi sampai saat ini Abu Janda masih tetap tinggal di Indonesia dan hanya bisa ngata-ngatain aktivis Muslim yang sudah melampaui dari sekedar tindakan Abu Janda yang cuman banyak ngomong. Ya sudahlah biarin aja. Yang coba saya soroti bukan hanya itu, tapi hampir semua postingannya yang selalu membuat pembelaan terhadap kaum minoritas, dalam hal ini kaum Kristen, tapi secara bersamaan menginjak-nginjak dan memojokan kaum Muslim. Apakah memang seperti itu pembelaan yang sebenarnya? Dan anehnya, dia selalu memojokan aktivis Muslim seperti Ustadz Felix Siauw, Ustadz Taqy malik, Arie Untung, Fuadh Bakh dll. Seperti salah satu postinganya pada tanggal 28 Mei tentang pidato Presiden Prabowo yang siap akui Israel sebagai negara, di captionnya dia menulis seperti ini, "Orang CERDAS akan setuju, berdiri dan tepok tangan dengar pidato pak @prabowo ini.. orang BODOH akan geram, eksal dan marah dengar pidato ini......semoga pada cerdas @arieuntung @taqy_malik @hasanjr11 @felix.siauw @greschinov @fuadbakh23 @hilmifirdaus"
Yang dia lakukan katanya toleransi beragama tapi kenyataanya malah membela keyakinan kaum Kristiani dan menyeret kepinggir habis-habisan kaum Muslim mayoritas, saya anggap ini kebablasan, mengapa? Ini bukan lagi toleransi melainkan ancaman Pluralisme agama, fakta ngawurnya Abu Janda membuat bias antara toleransi dan Pluralisme agama. Jika ini dibiarkan, lama-lama toleransi tidak lagi dimaknai secara adil, tapi malah dipahami pengamalan keyakinan Pluralisme yang berlindung dibalik kata toleransi, akhirnya kalimat toleransi hanya jadi instrumen Pluralisme.
Okei, disini saya akan ajarkan Abu Janda bagaimana toleransi dan membela kaum minoritas yang sebenarnya. Kalau tulisan ini gak sampai kebaca oleh dia, gapapa, mudah-mudahan jadi manfaat buat pembaca yang lainnya, namun jangan lupa buat sebarin juga yah.
Seiring maraknya fenomena toleransi, perlahan memberikan makna tersendiri bagi kita. Realitanya toleransi sering disandingkan dengan isu kepercayaan, seperti toleransi umat beragama, toleransi antar agama dll. Padahal kesadaran masyarakat yang majemuk dengan keragaman suku, budaya, hingga ras adalah bentuk kesadaran toleransi. Tapi kenapa hanya dikaitkan dengan agama? Seolah-olah agama jadi pemicu kegaduhan? Sehingga dinilai intoleran, makanya perlu toleransi antar agama. Kaya muslim gak ngucapin natal dinilai intoleran, tapi anehnya giliran ada yang ngucapin natal malah dinilai toleran. Kok aneh yah? Tidak hanya itu, mengajak orang lain dengan dakwah saja dinilai intoleran, khususnya yang sering dipojokan adalah Islam. Menganggap Islam yang paling benar saja dianggap intoleran. Semakin bias kan?
Toleransi dan Pluralisme itu berbeda. Bagi Diana L. Eck Pluralisme adalah peleburan agama-agama menjadi satu wajah baru yaitu realitas keagamaan yang plural. Dari narasinya saja sangat menyiratkan kuatnya relativisme dan saran untuk berpeluang terbuka dan menerima kebenaran agama yang lain. Jadi Pluralisme bukan toleransi yang menganggap semua agama adalah benar. Dan ini dikritik habis oleh Buya Hamka yang mengatakan bahwa menyatakan semua agama adalah benar, sebenarnya dia sendiri tidak beragama.
Maka kunci toleransi bukan saling menghormati keyakinan agama lain apalagi meyakini kebenaran agama mereka, tapi tidak saling menganggu dengan memahami bahwa apa yang mereka kerjakan biar mereka kerjakan tanpa menganggu dan jangan ikut-ikutan.
Oleh sebab itu kita menghormati secara sosiologis bukan teologis. Karena dalam Islam soal keyakinan tauhid itu sudah tegas dan jelas tidak bisa ditawar-tawar lagi hanya karena kerukunan apalagi toleransi. Menurut Dr. Adian Husaini umat Islam itu sudah sejak lama membangun toleransi dengan para pemeluk agama lain. Tetapi selama itu pula ulama Islam tidak pernah menganjurkan atau mencontohkan mencampur adukkan salam lintas agama untuk membangun kerukunan atau toleransi umat beragama. Maka toleransi itu ialah lakum dinukum wa liya din. Selesai. Maka bukan disebut toleran ketika ikut-ikutan merayakan, mengucapkan sampai meyakini agama lain, ini bukan toleran tapi mencoreng keyakinan tauhid. Sekali lagi tauhid tidak bisa di tawar-tawar.
Maka yang benar adalah meyakini agama Islam satu-satunya agama yang benar, sambil tetap toleran terhadap pemeluk agama lain, berinteraksi sosial dengan baik selama tidak menyentuh aqidah dan ibadah. Berarti membela hak kaum minoritas bukan meyakini kebenaranya. Dalam hal ini kita harus melihat figur prototipe dari Rasulullah SAW dalam piagam Madinah. Dalam bagian ketiga ada lima pasal yang mengatur persatuan dalam beragama, menegaskan bahwa setiap pemeluk agama di Madinah memiliki hak dan keadilan yang sama, terutama dalam menjalankan keyakinannya. Dan yang dilakukan Rasulullah adalah sebenar-benarnya pembelaan. Lantas Abu Janda ngapain aja selama ini kalau bukan ngelantur?
Komentar
Posting Komentar