Sutan Irawansyah
Mungkin di antara kamu ada yang pernah merasakan titik terendah dalam hidup? Entah apa alasan dan motifnya, mulai dari ditinggal orang terkasih, patah hati, dipecat dari perusahaan sampai ragam motif lainnya atau bahkan tanpa alasan yang jelas. Tentunya setiap orang punya alasan dan momen titik terendah tersendiri. Biarkan setiap orang melewati titik terendah itu tanpa kita hakimi, karena beban yang dipikul setiap orang akan berbeda. Bagiku pasti setiap orang pernah melewatinya, bedanya hanya ada yang bercerita dan ada yang diam saja dan tak banyak bercerita tentang hal ini.
Titik terendah adalah titik yang sangat dibenci orang, tapi secara bersamaan kamu harus paham bahwa titik tersebut adalah titik nadir yang sangat menentukan arah hidup selanjutnya. Mengapa kamu bisa membenci titik terendah itu? Karena kamu mengharapkan isi hidup yang dilewati hanya berisi tentang kesenangan hingga kebahagiaan. Tapi nyatanya hidup bukan hanya tentang bahagia, karena rasanya bahagia selamanya itu mustahil.
Akhirnya hidup bukan tentang bahagia atau sengsara, karena keduanya sudah mewarnai dan bagian dari hidup, tapi tentang bagaimana responsif kita terhadap semua yang kita terima dan kita lewati. Jika begitu, artinya pola pikir akan sangat menentukan bagaimana sikapmu selanjutnya. Di satu sisi kamu harus sedih, kalau memang ingin bersedih maka bersedihlah, jangan ditahan-tahan, jika kamu tahan maka isi kepalamu akan berisi penolakan dan penolakan. Di sisi lain kamu pun harus senang, jangan ditahan untuk tersenyum dan ketawa, karena kesenanganpun harus dirayakan agar hidup yang kamu jalani tidak fokus pada hal-hal negatif.
Lihat apa kata Nietzsche, You higher men, learn to laugh. Ciri manusia super adalah bisa merayakan hidupnya, ciri yang paling mudah merayakan hidup ialah tertawa. Ketika tertawa maka kamu manusia dengan kelas tinggi. Makanya learn to laugh, belajarlah tertawa.
Kamu tidak sendiri melewati titik terendah ini, Muhammad sebagai Nabi pun pernah melewatinya, titik terendah Rasulullah ketika ditinggal wafat pamanya, tidak lama dari situ ditinggal istri setia pendamping dakwah ilAllahnya, Khadijah, karena derai derita terus datang bertubi-tubi, membuat beliau hijrah ke Thaif, tapi yang diterima tidak jauh beda sebelum berhijrah, harapan perlindungan sampai pertolongan seketika rubuh, karena perjalanan hijrah itu berakhir cacian dan celaan.
Maka tidak mengapa kamu menangis, karena satu saat kamu memerlukan air mata, bukan ingin menunjukan kamu ini lemah, tapi karena memang kita manusia. Jangan menganggap lemah hanya karena dirimu menangis, pandangilah dirimu sebagai manusia dan lihatlah keseliling bahwa keadaan tidak selamanya baik-baik saja. Tangisan bukanlah satu hinaan, tapi menunjukan kelembutan dan kejernihan hatimu. Tangisan memang menunjukan dirimu sedang runtuh, tapi tangisan juga yang membuatmu seakan-akan melihat semua dengan utuh,
Komentar
Posting Komentar