Sutan Irawansyah
Lanjut.....
Terakhir mereka menjadi sarjana-sarjana yang dicetak untuk industry, pikiran dan dirinya telah terprogram dan diatur hanya untuk kerja, kerja dan kerja. Terakhir inilah yang dikritik oleh Ivan Illich pada dekade 70 melalui bukunya Desschooling Society, menurutnya institusi pendidikan atau sekolah saat ini tak lain hanyalah sebuah pabrik yang mengambil “bahan baku” anak-anak, lalu mereka mengubah menjadi produk pekerja yang dibutuhkan oleh pemilik kepentingan dan kekuasaan. Untuk menjadi produk yang lulus, anak-anak tersebut harus sesuai dengan kriteria-kriteria yang mereka butuhkan, jika tidak, mereka cukup menjadi buruh atau melakukan pekerjaan dengan upah yang sangat rendah.
Pergeseran paradigma pendidikan yang dipahami masyarakat selalu mengarah pada sekolah sebagai satu bangunan institusi pendidikan yang dibutuhkan perusahaan, akhirnya masyarakat selalu memahami bahwa ijazah didapat hanya sebagai symbol atau tanda dia pernah bersekolah, karena ijazah dibutuhkan untuk dunia pekerjaan. Ini pernah disinggung oleh Ivan Illich yang mengatakan bahwa sekolah saat ini tak lain hanyalah sebuah pabrik yang mengambil “bahan baku” anak-anak, lalu mereka mengubah menjadi prduk pekerja yang dibutuhkan oleh pemilik kepentingan dan kekuasaan. Untuk menjadi produk yang lulus, anak-anak tersebut harus sesuai dengan kriteria-kriteria yang mereka butuhkan. Menurut Henry Geroux, paradigma semacam ini berangkat dari paradigma paedagogi tradisional yang memahamkan bahwa pendidikan tunduk pada kepatuhan dan ketakutan, dan selalu ada hubungan dengan politik dan pendidikan.
Makanya bagi Geroux pendidikan seperti ini adalah bentuk penindasan dan bentuk ketidakadilan. Inilah yang kemudian dilawan oleh Henry Giruox dengan gagasannya yang dikenal sebagai pedagogi kritis untuk mencoba membebaskan pendidikan dari budaya penekanan atau penjajahan. Artinya dari kacamata paradigma pedagogi kritis melihat bahwa sekolah bukanlah tempat persiapan pekerja atau karyawan yang diperlukan perusahaan, melainkan ruang public demokratis, dimana didalamnya tumbuh nilai keadilan, kesetaraan dan harapan. Sejauh ini pedagogi tradisional selalu mengkorbankan kebebasan dan kesetaraan.
Sebab itu Geroux mengamati bahwa pendidikan telah mengalami komodifikasi, maksudnya pergeseran tujuan utama dan hakikat pendidikan itu sendiri yang di abad ini bergeser untuk mencari dan mengembangkan keuntungan ekonomis. Tentu pasti Geroux melawan dan mencoba menyingkirkan segala bentuk penindasan lewat teorinya itu. Maka tawaran teori Geroux sangat tepat untuk digunakan sebagai bnetuk perlawanan atas segala penjajahan dalam struktur pendidikan, terutama dalam melawan paradigma neo-liberalisme yang menempatkan ekonomi sebagai ukuran fundamental dalam segala aspek kehidupan.
Pedagogi kritis didefinisikan dengan teori pendidikan dalam pembelajaran yang didesain untuk membangun kesadaran kritis mengenai kondisi sosial yang menindas. Dengan kata lain pedagogi kritis bertugas untuk membawa masyarakat tertindas untuk terbuka dengan kritis.
Jika memotret pendidikan kita, apakah boleh dinilai berhasil? Apakah telah melahirkan manusia yang baik? Andaikata “iya” lalu mengapa masih ada kerusakan? Perilaku fahsya, tidak sedikit kaum “pintar” yang bermain uang dikursi singgasana demi nafsu kekayaan semata, melahirkan sosok insan yang tidak beradab. Meskipun jahil tapi beradab, setidaknya itu mengakibatkan kekacauan yang jauh lebih kecil ketimbang orang pintar tapi biadab. Kurang-kurangnya yang pertama maling sandal di masjid, orang kedua mencuri uang rakyat.
Berarti harus ada koreksi dan refleksi kembali pendidikan kita. Coba anda perhatikan dan renungi potret pendidikan kita hari ini. Di jenjang menengah, pelajaran Ilmu Alam sudah di segoki dengan nilai sekuler yang jauh dari nilai-nilai transedental, nilai ketuhanan. Contoh paling sederhana, hingga hari ini teori evolusi yang digagas Charles Darwin yang ia menganggap manusia berasal dari spesies hewan yang bernama kera dengan melalui tahap evolusi menjadi spesies baru yang dinamai manusia masih saja dipertahakankan. Pemikiran dia masih dipakai, dipertahankan dan dianggap teori yang ilmiah dan benar sesuai fakta dari penemuan-penemuan tulang belulang, murid atau siswa dipaksa tunduk pada pemikiran “si” Darwin ini, hampir nyaris tidak terdengar suara protes dan kritik tentang pemikiran “nyeleneh”nya. Buktinya kurikulum 2013 masih mengadopsi konsep evolusi manusia tersebut. Padahal teori evolusi ini telah dikritik tajam oleh Syamsudin Arif, bagi beliau, natural sciences yang dipakai dan dipelajari kepada mahasiswa dan sisa adalah ilmu pengetahuan yang di kebangkan oleh bangsa-bangsa Eropa sejak 500 tahun terakhir. Makanya sadar atau tidak ilmu yang dipelajari hingga dewasa kini sangat kental dengan nilai sekulerisme hingga materialism.
Bersambung.....
Komentar
Posting Komentar