Transformasi Paradigma Pendidikan Kita : Suatu Tinjauan Kritis (II)


Sutan Irawansyah

Lanjut.... 

Namun faktanya istilah pendidikan mengalami pergeseran yang sangat mendasar, dari mulai intinya hingga tujuannya telah tereduksi dengan faktor-faktor luar, akhirnya paradigma masyarakat terhadap istilah pendidikan pun terpaksa ikut bergeser, bahkan sangat jauh. Dari sejak awal seharusnya pendidikan diartikan dengan sebuah instrument penting untuk menumbuh kembangkan manusia menjadi manusia yang baik sesuai peran dan fungsinya sebagai khalifatul fil ardh dan abdillah, terlepas apapun perantinya, baik institusi pendidikan formal, non formal, hingga didikan dari orang tuanya ataupun guru dan ulamanya, namun secara bertahap fenomena abad 21 ini berubah, ketika lapisan masyarakat disuguhkan dengan istilah pendidikan atau istilahistilah lain yang berkaitan langsung dengan pendidikan yang tergambar dalam pikiran mereka adalah sekolah, makanya nanti muncul istilah pendidikan formal dan pendidikan non-formal.

Bahkan diperkuat dengan amanat undang-undang, di UU No, 20/2003, Pasal 6, ayat (1) diwajibkan setiap anak memasuki jenjang pendidikan dari tujuh tahun hingga lima belas tahun. Oleh sebab itu ketika membahas masalah pendidikan, paradigma masyarakat sudah seperti diarahkan dan terprogram ke pendidikan formal yang bernama “sekolah”, padahal secara filosofis peran pendidikan pertama bagi anak khususnya adalah kewajiban orangtuanya bukan sekolah atau gurunya. Fenomena ini secara bertahap akan ikut menjerambah masuk mempengaruhi persepsi masyarakat bahwa yang namanya ilmu hanya didapat di sekolah, orang yang tidak mampu menyelesaikan pendidikannya hingga perguruan tinggi sangat nyaris jarang sekali mendapatkan pengakuan dari masyarakat sebagai orang yang berilmu. Inilah yang kemudian oleh Dr Adian disebut sebagai penyakit sekolahisme.

Jika sampai sana maka kita akan menyadari bahwa yang seharusnya dididik itu bukanlah anak, melainkan orang tua, tapi anehnya sangat langka sekali atau bahkan dari pemerintah itu sendiri tidak menyediakan suatu institusi pendidikan yang dikhususkan bagi orang tua, dari mulai cara mendidik anak sampai cara menjadikan anak-anak mereka shalih dan shalihah. Akhirnya yang terjadi orang tua banyak menyerahkan anak-anaknya ke sekolah dengan alasan keterbasan ilmu pengetahuan mereka. Memang tidak ada salahnya jika diserahkan kesekolah selama tidak melenceng dari niat semula untuk menjadikan anak sadar akan peran dan fungsinya sebagai khalifah dan abdillah, yang salah jika terjadi pergeseran niat, seperti penyerahan total tanggung jawab moral dari orang tua kepada guru, makanya sering muncul narasi, “terserah guru maudigimanapun juga ini anak, yang penting jadi baik” satu sisi memang berniat baik, untuk menjadikan anaknya baik, tapi caranya yang salah.

Bersambung........ 

Komentar