Sutan Irawansyah
Akhir-akhir ini lagi-lagi kita dikejutkan dengan isu dan wacana yang mengundang banyak reaksi dan respon dari masyarakat media sosial. Setelah sebelumnya kita diramaikan dan di buat geram dengan tindakan Paludan yang membakar Al Quran, sekarang diramaikan lagi dengan isu childfee, yaitu konsep bebas atau keputusan keluarga yang tidak akan memiliki keturunan.
Tentu isu ini menuai banyak respon baik maupun buruk, pro ataupun kontra dari banyak kalangan, terutama netizen warga +62 yang gemar komen dan kritik tanpa berdasar. Tidak sedikit juga banyak menuai kritikan dari beberapa pihak. Wacana childfree secara historis sebetulnya sudah terjadi dan marak berkembang di Barat. seperti diungkapkan oleh professor sejarah dari Universitas Xavier, Prof Rachel Chrastil, menyebutkan bahwa sejak dahulu sudah ada pasangan atau wanita yang tidak memiliki anak. Hal ini ditunjukan oleh sebauh fakta jutaan wanita di seluruh dunia akan mencapai usia 45 tahun tanpa memiliki anak di abad ke-21. Apakah karena alasan mandul, nilai prinsip, filosofis, atau bahkan pilihan hidup.
Ditahun 1900 childfree mengalami peningkatan yang cukup drastic, dimana data biro sensus AS menunjukan persnetase tanpa memiliki anak naik tiga kali lipat antara tahun 1961 dan 1971, dari 1,3% menjadi 3,9%. Artinya sejak abad yang lalu isu ini telah lama berkembang, namun hari ini seolah hadir kembali dan seolah baru semenjak di ungkapkan oleh seorang selebgram yang memutuskan untuk tidak memiliki anak. Akhirnya isu childfree menjadi ramai kembali.
Tentang childfree itu sendiri secara sederhana merupakan sebuah konsep pilihan perempuan atau pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak. Seperti Dalam studinya Houseknecht menjelaskan bahwa childfree merupakan orang yang tidak memiliki anak dan tidak berkeinginan untuk memiliki anak di masa depan. Disamping childfree ada juga childless, yang kedua ini lebih disebabkan faktor internal yang berkaitan dengan masalah kesehatan, bisa saja karena mandul, infertilitas dan faktor lainnya. Berbeda dengan childfree yang lebih diarahkan sebagai keputusan dari sebuah pilihan.
Beragam alasan yang melatarbelakangi memilih childfree. Gita Savitri, lebih di latari karena ingin awet muda, tapi di sesi live instagranya, ia lebih menegaskan bahwa memiliki anak adalah beban, alasan ini menjadi kontroversi. Sebetulnya banyak yang melatari childfree, diantaranya :
1. Adanya rasa tidak suka terhadap anak-anak.
2. Adanya rasa traumatis masa kecil.
3. Tidak ingin mengorbankan privasi/ruang dan waktu untuk anak.
4. Adanya rasa takut untuk mengandung dan melahirkan.
5. Pertimbangan untuk membesarkan anak dengan kapasitas intelektual yang buruk.
6. Kekhawatiran bahwa anak akan mewarisi penyakit keturunan.
7. Anak dilihat sebagai additional burden (beban tambahan) yang mengakibatkan terjadinya overpopulation (kepadatan populasi).
8. Adanya kekurangan pada finansial.
9. Adanya rasa khawatir pada keharmonisan perkawinan.
Dan masih banyak lagi kemungkinan alasannya.
Dari aspek psikologis bisa saja motif untuk childfree disebabkan traumatik ketika kecil disebabkan disakiti, diabaikan, higga disiksa oleh orang tua, sehingga enggan untuk memiliki anak, atau memang karena dibentuk oleh prinsip untuk apa punya anak kalau ujungnya si anak harus terluka dan bahkan terabaikan?. Terlepas dari pelbagai alasan yang menjadi motif, tapi hari ini yang harus kita soroti adalah childfreenya itu sendiri.
Akan ada banyak dampak yang akan terjadi, seperti diantranya akan bergesernya makna kebahagiaan keluarga, pergeseran itu disebabkan perubahan paradigma bahwa memilih tidak memiliki anak lebih bebas dan lebih menstabilitaskan ekonomi dan ujungnya lebih bahagia. Tentu terlalu pragmatis jika kebahagaiaan diukur oleh hadir dan tidaknya buah hati dalam rumah tangga. Disamping bergesernya makna kebahagiaan, maka akan timbul juga perubahan cara pandang tentang keluarga.
Sebetulnya jika dipikirkan kita tidak akan ada di dunia, jika orang tua kita tidak memutuskan childfree, bahkan disisi lain jika ada yang mengatakan bahwa kita berumah tangga dengan harapan tidak harus memiliki anak, maka terhadap orang ini sebaiknya kita tanya, apakah kita lahir dari rahim seorang ibu, atau lahir dengan sendirinya. Jika menjawab dari rahim seorang ibu, maka seorang ibu saja tidak perna terpikirkan untuk memilih tidak memiliki anak, apakah seorang anak terpikir untuk tidak memiliki seorang ibu? Artinya itu merupakan fitrah yang tidak bisa kita hindari.
Allah berfirman : “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa wanita-wanita, anak-anak.... (Ali Imran : 14)
Dalam ayat itu dijelaskan bahwa cinta dan memiliki keturunan adalah fitrah manusia, bahkan kebahagiaan bagi seorang ibu adalah memiki keturunan. Maka keluarga yang memutuskan childfree itu telah menyalahi fitrahnya yang dijamin tidak akan bahagia.
Seorang Hakim Agung Amerika Serikat, Chiristin Bekker mengatakan
“Kita terlahir sebagai manusia tidak bisa berteman dengan mesin apapun sekalipun uang tidak mampu menggantikan kemanusiaan kita, apalagi segudang teori dan konsep hidup kitab undang-undang. Semua itu hanya benda mati bukan untuk kehidupan kita.”
Fitrah manusia yang memiliki keturunan dan berharap memiliki anak tidak dapat ditukar kebahagiaannya dengan mesin, teknologi, apalagi teori-teori yang berkembang. Yang menentukan kebahagiaan keluarga adalah kembalinya tatanan kehidupan rumah tangga kepada fitrahnya sebagai manusia. Mungkin diusia pernikahan yang masih muda dengan memtuskan childfree akan menjadi penyesalan terbesar nanti menjelang usia senja, karena tidak ada teman, kerabat, sampai sanak saudara. Sudikah kita hidup sepi seperti itu?
Wallahu ‘alam bi shawwab
Komentar
Posting Komentar