Membakar Al Quran : Sebuah Tanggapan, refleksi, dan kritikan


Sutan Irawansyah

Masyarakat Muslim hari ini sedang diramaikan sekaligus digemparkan dengan isu yang sedang mencuat di media sosial, hingga memicu reaksi keras dan kutukan dari beragam pihak, khususnya kaum muslim dengan aksi demo mengutuk tindakan aktifitas membakar Al Quran, yaitu lagi-lagi soal islamophobi dengan melakukan tindakan pembakaran Al Quran yang dilakukan oleh seorang politikus dari pimpinan partai sayap kanan Stram Krus denmark bernama Rasmus Paludan. Yaa lagi-lagi dia yang membakar Al Quran. Setidaknya selama dua dekade ini islamophobi mengalami peningkatan yang sulit dibantah telah terjadi di eropa dan merambat ke berbegai belahan negara lain.

Tepat pada tanggal  21/1/2023 Rasmus melakukan tindakan kejinya itu. Lalu berselang satu hari, tanggal 23/1/2023 seorang politisi sayap kanan Eropa mengambil tindakan yang sama. Edwin Wagensveld, pimpinan  gerakan sayap kanan merobek beberapa bagian halaman Al Quran sebelum kemudian membakarnya. Dua tindakan ini menunjukan fakta fenomena yang terjadi di Eropa dengan melakukan aksi kontroversial untuk memicu dan menimbulkan rasa kebencian hingga memusuhi Islam. Ketika umat muslim menuntut perhatian dan tindakan tegas mereka berkelok dengan dukungan dari apararat setempat bahwa ini sebatas kebebasan dalam bereskpresi. 

Teritung dari sejak 2019 hingga 2023 tercatat Rasmus Paludan telah melakukan tindakan rasial terhadap Islam sebanyak lima kali melakukan aksi tindakan yangsama dan terus berulang. Dia seperti ingin meyuarakan dan mengammbarkan Islam sebagai agama jahat dan primitive. Dan bahkan seperti dilansri dalam laman persis.or.id Jaringan Analisis Pemantauan Ekstremis (eman-network) melaporkan, bahwa politisi sayap kanan itu sebelumnya menyebut Al-Qur’an sebagai “buku besar pelacur” dan “mendesak para pengikutnya untuk buang air kecil di atas lembaran halaman Al-Qur’an”.

Pada akhrinya apa yang dilakukan Paludan bukanlah ekspresi kebebasan melainkan murni penyerangan kepada Islam untuk menyebarkan kebencian dan menebar paradigma Islamopobhia, yang selanjutnya akan berakhir Islam di klaim sebagai agama yang jahat. Inilah tujuan Paludan dan konco konco nya yang sesungguhnya. Dari Paludan menunjukan adanya kegagal pahaman dalam mencermati kata kebabasa ekspresi. Pasalnya di Barat selalu dipahami dan digunakan untuk penindasan hingga bentuk rasial terhadap agama, tidak heran Islam selalu dijadikan sasaran empuk oleh kaum Islamophobia. 

Artinya referensi kebebasan diartikan dengan standar ganda dan tergantung subjektivitas nya. Memang semua punya hak untuk mengekspresikan kebebasan, tapi mengapa yang terjadi malah selalu dijadikan dalil untuk pembenaran tindakan rasial dan kriminal sampai penistaan terhadap Islam. Ketika Muslim beribadah dihalang halangi, mesjid dibakar, jilbab di larang. Semangat kebebasan bagi mereka artinya semangat ekstrimis dan semangat fanaatisme anti muslim. Baik mereka melakukan nya dengan individual atau komunal. Paradigma seperti ini dikhawatirkan akan timbul sikap pengwajaran terhadap kelompok kelompok Islamophobia. 

Sejatinya, pembakaran yang dilakukan Paludan sebenarnya tidak akan berdampak apa-apa bagi Muslim, kita bisa mencetaknya lagi, tapi kita perlu marah karena ghirah kita dan keimanan kita pada kitab suci Al Quran. Jangankan Al Quran, bendera berlafadz kalimat tauhid saja kita sudah seharusnya marah dan mengecam dengan semangat islam dan semangat keimanan. Memang pembakaran tindakan yang kejam, tapi ada yang lebih kejam ialah tidak membaca dan mengkajinnya. Jadi jika Ray Bradbury mengatakan bahwa kekejaman setelah membakar buku adalah tidak membacanya, maka bagi saya kekejaman paling kejam setelah membakar Al Quran ialah tidak membaca dan mengkajinnya. 

Bahkan tidak sekedar itu, yang urgen kita harus kejam dan lawan adalah upaya desakralisasi Al Quran yang gencar di lakukan oleh orientalis. Tentu ini lebih fatal jika dibiarkan, akan menyerang dan merusak aqidah dan syariat Islam, sampai merendahkan Al Quran dari teks yang suci menjadi sekedar karangan kreativitas hasil Nabi. 

Tentang arti kebebasan juga perlu dibatasi dan dipahami secara adil. Dimana kebebasan ekspresi dan kebebasan bicara harus dibatasi kebebasan orang lain. Kebebasan tidak boleh menghina, mencaci, merendahkan apalagi menyudutkan ras, agama dan kepercayaan lain. Islam selalu dijadikan objek sasaran kebebasan yang salah dipahami, seperti kasus penistaan tahun 1989 ada Salman Rusdhie, yang menulis novel The Satanic Verses, selain itu terdapat Tatiana Soskin, di tahun 1997,dia mencoba menempel kan gambar Nabi Muhammad SAW dalam bentuk babi sedang membaca Al Quran. Dan tentu masih banyak lagi bentuk penistaan terhadap agama, tapi anehnya dari semua itu sangat jarang atau bahkan tidak sama sekali diajukan ke pengadilan dan diberi hukuman. Jadi kebebasan di Barat selalu berujung menista dan tampak sangat tidak adil, meski konon katanya mereka menjujung tinggi nilai kebebasan, namun kebebasan yang kebablasan dengan melecehkan kebebasan kaum beragama, Islam khususnya. Kebebasan yang kelewatan batas. Jika mereka konsisten dengan anggapannya itu, tentu mestinya Muntahar Al Zaidi yang melempar George W. Bush dengan sepatu tidak diberi hukuman. Demikian juga dengan Rushdie, seharusnya diadili oleh pengadilan Inggris sebelum kemudian difatwakan hukuman mati oleh Khomeini. Pada akhirnya penistaan atas nama kebebasan  itu merupakan hasil dari kebencian agama. Sehingga ujungnya kebebasan seperti itu mengotori bahkan menista kebebasan itu sendiri. 

Wallahu'alam

Komentar