Cinta dan berkelana dalam pilihan

 


Sutan Irawansyah

Manusia dalam istilah bahasa Arab diberi nama insan disebabkan mereka mempunyai potensi takhyir, memilih. Antara taat atau maksiat, surga atau neraka, celaka atau bahagia, sedih atau duka, maka manusia dapat memilih nya, mana yang akan mereka ambil disitu mereka akan merasakan akibatnya. Demikian penentuan ujung takdir selalu ada dalam ruang pilihan, manusia diberi potensi untuk menentukan yang mereka inginkan. Jika ingin bahagia yaa surga, jika ingin celaka yaa neraka, sederhana.

Artinya kita diberi ruang oleh Allah antara kita dan takdir diujung jalan. Sebab itu manusia dan Allah selalu ada kerja sama dalam penentuan tardir manusia. Bahagia dan tidak itu tergantung manusia mengambil yang mana? Taat atau maksiat, bahagia atau celaka? Namun bukan berarti berkelana dalam pilihan itu Allah tidak menentukan takdir bagi manusia, kalau tidak menentukan mengapa Allah selalu menghadirkan resiko dari pemilihan nya itu? Dan bahkan Allah sendiri jauh sebelum manusia memilih sudah tahu mana yang akan di pilih oleh mereka. Maka pada akhirnya apa? Kita berlari dari takdir Allah yang satu menuju takdir Allah yang lain, dan semua itu atas kehendak takdir Allah. 

Ketika kita memilih jalan taqwa maka itu takdir Allah, dan tatkala kita memilih jalan durhaka, bentar dulu, itu adalah pilihan mu, meski Allah tau mana yang akan kamu pilih. Karena pada akhirnya tidak ada yang dapat selangkah lebih awal selain selalu dibawah bayang bayang takdir. Itulah mengapa takdir selalu misteri, karena kita di beri pilihan dari beragam macam tawaran. Diberi ruang untuk menyusun cita dan rencana. 

Demikian juga ruang gerak dalam cinta, kita akan selalu di beri ruang untuk memilih. Seperti yang dilakukan seorang perempuan yang mengadu pada Aisyah dan seorang perempuan lain bernama Habibah Binti Sahl. 

Seperti dikisahkan lewat riwaya Imam Al Bukhari sosok Habibah binti sahl ini merupakan istri dari Tsabit ibn Qais yang menghadap pada Nabi lalu mengatakan, "Wahai Rasulullah, aku tidak mencela akhlak dan agamanya, tapi aku aku tidak suka kekufuran dalam Islam." Lalu Nabi menyuruh mengembalikan kebun Tsabit dan Tsabit menerima kemudian menthalaqnya. Dalam redaksi lain Habibah menghadap Nabi dengan berkata, "tampaklah apa yang tidak aku ketahui pada malam pengantin kamu. Aku pernah melihat beberapa orang laki-laju, namun suamiku adalah lelaki yang paling hitam kulitnya, pendek tubuhnya, dan paling jelek wajahnya. Tidak aku temukan kebagusan pada dirinya. Aku tidak mengingkari kebagusan akhlak dan agamanya, wahai Rasulullah. Namun aku takut menjadi kufur jika tak bercerai darinya. Aku takut jika terus menerus bermaksiat padanya karena ketidaktaatan pada suami, dan aku tahu itu menyalahi perintah Allah Swt."

Dalam redaksi Habibah ia mengerti kemampuan dirinya dan tahu segala resiko yang kemungkinan besar akan terjadi sebagai konsekuensi dari bertemuanya realita kondisi yang ia hadapi dengan watak, sifat dan karakter dirinya. Habibah memilih jalan taqwa dengan bercerai dari Tsabit, yang dipilih bukan tanpa resiko. Dan bersuamikan Tsabit pun lebih lebih sulit dia tangguhkan, karena akan menuntut kesabaran yang panjang, dan dia tahu potensi dirinya, bahwa itu tak sanggup dijalani dan berpotensi kufur pada Ilahi Rabbi. Begitulah selalu ada ruang dan ruang itu bernama pilihan-pilihan. 

Alkisah seorang remaja mengadu pada Aisyah karena dinikahkan oleh ayahnya dengan lelaki yang tidak dia sukai karena alasan ingin keluarganya terangkat martabatnya melalui anaknya itu. Lalu Aisyah mengajaknya untuk duduk, hingga tak lama Rasulullah pun datang, kemudian mengutus seseorang untuk memanggilkan ayahnya supaya menghadap Rasulullah. Tatkala ayah itu hadir di hadapan Rasulullah, beliau menyerahkan kembali urusan pernikahan kepada sang gadis. Namun gadis itu berkata, "Wahai Rasulullah sebenarnya aku sudah ridha apa yang dipilihkan ayahku untuk ku. Hanya saja aku ingin memberitahukan, bahwa perempuan memiliki hak dalam masalah ini."

MasyaAllah perempuan ini. Ia menjelaskan bahwa perempuan punya hak dalam menolak pilihan orang tua, namun ada kemuliaan dalam mentaati orang tua. Tentu bukan tanpa resiko, karena memilih jalan kedua, harus membangun cinta sedari awal dari titik ketidaksukaan. Sekali lagi, begitulah selalu ada ruang antara rangsangan dan tanggapan. Dan ruang itu berisi pilihan. Disini terungkap mengapa takdir selalu msiteri? Karena supaya kita memilih diantara ragam tawaran. 

Namun perlu diingat bahwa memilih mestilah mandiri, kita memiliki hak untuk memilih dan menentukan, jangan ingin dipilihkan apalagi ditentukan, mengapa? Jika yang pertama itu mandiri tapi yang kedua itu di kendalikan. Yang pertama tentu akan memilih sesuai potensi dan kekuatan dirinya dalam menentukan jalan yang akan ditempuh, namun yang kedua dia dipilih bukan karena dirinya sendiri melainkan karena di tentukan oleh bayang bayang orang lain, akhirnya dia terus dalam kesulitan, terseret arus, terbawa gelombang, hal ini terjadi disebabkan tidak merasa memiliki pada pilihan sendiri. Bukan berarti ketika di hadapan pilihan orang tua kita boleh jadi penentang mereka. Bukan, bukan tentang itu, tapi ini tentang kemandirian dalam memilih yang harus di bangun sejak awal agar kita memiliki kuasa pada oilihan kita sendiri. Dimulai dari visi yang jelas hingga menyusun masa depan dengan terencana dan tersusun seapik mungkin. Begitulah jalan cinta selalu berkelana dalam pilihan. Dan itu butuh keberanian. 


Komentar