Sutan Irawansyah
Abu Nawas, demikian biasa disapa, siapa tak kenal dengan sosok jenaka ini? Yaa Abu Nawas yang populer dengan kisah-kisah humor nya yang mengundang tawa dari mulai humor tentang politik, social dan masih banyak lagi tema humor Abu Nawas. Sang Jenaka ini lahir di kota Baghdad yang merupakan anak dari seorang kadi bernama Maulana pada era Khalifah Harun Ar Rasyid. Kisah humornya terkenal sampai-sampai dari kebanyakan kisah lucu sering juga diadopsi sebagai kisah Abu Nawas, tidak sedikit kisahnya yang agak kurang rasional, mungkin ini kerjaan orientalis yang sengaja menjadikan sasaran empuk untuk menjelekkan masyarakat Islam.
Sekarang kita akan pergi untuk bercerita kisah Abu Nawas tentang kebahagiaan. Hari ini masih ada juga sebagian orang yang mencari arti dan makna kebahagiaan, masih meraba-raba akan hakikat kebahagiaan, mungkin termasuk kamu?. masih dibuat abstrak apa itu kebahagiaan, bahkan tidak sedikit mencoba membatasinya dengan definisi yang akhirnya makin dibuat abstrak dan bingung apa sebenarnya kebahagiaan itu? Jika kamu ditanya, kamu hidup ingin apa? dari sekian banyak orang yang ditanya seperti itu, nyaris seluruhnya bahkan kamu juga akan menjawab ingin bahagia, lantas jika ditanya lagi, apa itu kebahagiaan? Disini orang-orang terjebak dan akhirnya tidak dapat menjawab, jika seperti ini ujung-ujungnya manusia seperti menuju kepada sesuatu yang sebenarnya tidak tahu, atau bahkan nyaris tidak ada bagi dirinya. Tapi intinya jawaban itu mencerminkan semua manusia ingin kebahagiaan.
Namun fakta yang terjadi arti dari sebuah kebahagiaan diartikan beda-beda yang terkadang di latari oleh nasib, profesi, sampai pengalaman, sehingga lahir sebuah persepsi akan arti kebahagiaan. Misalnya ketika kamu melewati sebuah dusun yang sejuk disertai rintik hujan yang tidak terlalu deras tidak juga terlalu gerimis, namun sedang, lalu kamu melihat disebuah rumah yang terbuat dari kayu seorang pria tua yang sudah berumur sedang menikmati kopi duduk bersama istri tercintanya tengah berbincang ria tentang agama dan cinta, mereka berbincang hingga hujan reda. Mereka akhiri perbincangannya dengan saling lempar senyum dan udara yang sangat sejuk seba’da hujan yang diwarna pelangi setelahnya. Melihat itu mungkin kamu akan mengatakan itulah kebahagiaan, mereka tampak keliatan bahagia. Tapi teman disampingmu setengah berbisik mengatakan, “jangan tertipu kulit, sebenarnya dibalik itu mereka sedang dihadapi kepahitan, dunia ini hanya tipuan dan komedi belaka.” Lalu apa arti kebahagiaan yang sebenarnya itu?
Si miskin akan berkata bahwa kebahagiaan terletak pada uang, karena dengan uang semua dapat dimiliki dan dikuasai, mungkin juga dengan tidak sedikit akan disanjung dan dihormati, semua akan terkendali dan terkontrol hanya dengan uang. Tapi disadari atau tidak ucapan simiskin tentang kebahagiaan itu adalah bentuk keputusasaan dirinya yang selalu keinginannya tidak tercapai karena dia miskin. Sebagian orang katakan nama yang masyhur adalah kebahagiaan, sebab dengan nama yang masyhur dapat dikenal banyak orang dan kita dapat relasi untuk kita mengakses sesuatu, bisnis misalnya dapat mengandalkan ke masyhuran, mungkin. Sekali lagi, lantas apa kebahagiaan itu? Orang sakit mengatakan sehat itu kebahagiaan, seorang penulis ketika tulisannya dibaca orang ia katakan itulah kebahagiaan, seorang jurnalis ketika dapat mengakses narasumber untuk diwawancara maka itulah baginya kebahagiaan.
Jika begitu tidak heran Aristoteles mengatakan kebahagian bukanlah suatu perolehan untuk manusia, bahagian itu berbeda dan beragam menurut perlainan orang yang mencarinya. Kadang-kadang sesuatu yang dipandang bahagia oleh seorang, tidak oleh orang lain, oleh sebab itu bahagia bagi Aritoteles ialah suatu kesenangan yang dicapai oleh setiap orang menurut kehendaknya masing-masing. Pendapat lain seperti Albert Camus mengatakan kesuksesan dan kebahagian sangat berbagi jika kamu berbagi dengan orang lain.
Tapi bagaimana dengan Abu Nawas lewat kisah jenakanya memaknai kebahagiaan?
Alkisah disatu hari ada seorang laki-laki yang mengeluhkan permasalahannya sehingga ia merasa kesulitan untuk keluar dari masalah pelik yang tengah ia hadapi. Biasanya orang-orang banyak mengeluhkan masalahnya kepada Abu Nawas, namun pada saat itu Abu Nawas sudah lama tidak terlihat ditempat biasa dia nongkrong atau terlihat di istana. Akhirnya orang itu mengeluhkan pada teman-teman Abu Nawas yang barangkali bisa memberi solusi, “Baiklah. Aku mempunyai rumah yang amat sempit. Sedangkan aku tinggal bersama istri dan kedelapan anak-anakku. Rumah itu kami rasakan terlalu sempit sehingga kami tidak merasa bahagia.” Setelah mendengar keluhannya kawan-kawan Abu Nawas tidak mampu memberi solusi. Maka kawan-kawan Abu Nawas menyarankan untuk temui Abu Nawas di rumahnya.
Setelah kemudian pergi kerumah Abu Nawas, ditemui Abu Nawas stengah mengaji, lalu orang itu mengeluhkan permasalahanya pada Abu Nawas. Sesudah dibeberkan permasalahannya, Abu Nawas bertanya, “Kamu punya seekor domba?”, orang itu menjawab,”Tidak, tapi aku mampu membelinya.” “Kalau begitu belilah dan simpan domba itu dirumahmu.” Abu nawas menyarankan. Tak lama beberapa hari kemudian orang itu kembali ke Abu Nawas, “Wahai Abu Nawas, aku telah melaksanakan saranmu, tetapi rumaku bertambah sesak. Aku dan keluargaku merasa segala sesuatu menjadi lebih buruk di banding sebelum tinggal bersama domba.” Keluh orang itu. Abu Nawas malah kembali menyarankan untuk membeli beberapa ekor unggas untuk disimpan dirumah orang itu, namun orang itu kembali dengan keluhan yang sama, bahkan semakin sempit, sesak dan tidak betah dia tinggal dirumah itu. Ditengah merasa kondisi rumahnya malah semakin memburuk, Abu nawas malah menyarankannya lagi untuk membeli unta, keluh orang itu memuncak, rumahnya sudah seperti neraka, semuanya berubah menajdi lebih mengerikan dari hari-hari sebelum ada hewan-hewan itu.
Disaat-saat seperti itu Abu Nawas menyarankan untuk menjual satu persatu hewan itu, setiap sekali dijual, Abu Nawas mengunjungi rumah orang itu, sembari bertanya bagaimana perasaan dan keadaan sekarang, katanya semakin hari semakin membaik semenjak satu persatu hewan itu tidak ada dirumahnya karena dijual. Setelah ketiga kalinya orang itu berkata, “Kami merasakan rumah kami bertambah luas karena binatang-binatang itu sudah tidak lagi tinggal bersama kami. Dan kami sekarang merasa lebih berbahagia daripada dulu. Kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepadamu hai Abu Nawas.”
“Sebenarnya batas sempit dan luas itu tertancap dalam pikiranmu. Kalau engkau selalu bersyukur atas nikmat dari Allah, maka Allah akan mencabut kesempitan dalam hati dan pikiranmu.” Abu Nawas menjelaskan.
Dari kisah Abu Nawas ini kamu bisa tangkap satu pesan nilai tentang kebahagiaan, bahwa kebahagian bukan tentang apa yang kamu raih, apa yang kamu berikan, prestasi apa yang kamu capai, seberapa banyak harta yang kamu miliki, bukan, bukan itu semua, tapi kebahagiaan ialah tentang apa yang kamu rasakan. Maka kamu jangan katakan bahwa kebahagian hanya dimiliki orang kaya, orang berprestasi, jangan, karena bahagia milik semua orang, dan mereka pun berhak bahagia. Dari sini jalan menuju bahagia itu mudah, yang rumit itu penafsirannya.
Wallahu 'alam bi shawwab
Komentar
Posting Komentar