Sutan Irawansyah
Mengurai benang kusut tentang cinta memang tidak pernah selesai, karena kata cinta merupakan sebuah ungkapan yang teramat dalam jika didefinisikan secara pasti, dan memiliki dimensi yang lebih luas jika diberi batasan, seperti yang diungkapkan Nizzar Qabbani, "aku menulis tentang cinta selalu ada di halaman pertama." Tidak henti hentinya. Sebab kata cinta adalah kata yang sederhana namun mengandung makna yang takkan sederhana, semakin didefinisikan semakin jauh dari hakikat sebenarnya, karena ia kata yang tak terukur maknanya, maka jika kita mengejar makna sebenarnya ia akan semakin lari jauh dari hakikatnya, rumit dan sulit mengurai makna cinta sesungguhnya. Memang semua orang dapat dan sudah mengalami cinta namun belum tentu dapat mendefinisikannya.
Makanya sederet filusuf, sufi, psikolog, sampai ulama mencoba mencari definisi cinta, Ibn Qayyim Al Jauziyyah misalnya, dalam kitabnya raudhatul muhibbin wa nuzhatul musytaqin, menyebutkan :
هي حفظ الحدود، فليس بصادق من ادّعى محبة من لم يحفظ حدوده
"Cinta ialah menjaga batasan, maka tidak benar orang yang mengatakan cinta namun tidak menjaga batas-batas."
Ta'rif yang diberikan Imam Ibn Qayyim memberi gambaran bahwa jika seorang mencintai setangkai bunga misalnya ia tidak akan berani memetiknya dengan sembarangan, karena akan merusaknya. Namun jika ia benar benar mencintai setangkai bunga itu maka ketika di petiknya ia harus siap siap menjadi tanah sekaligus menerima sejatinya bunga, durinya, tangkainya, daunya dll, sebab itu ia tidak akan merusak bunga itu, malah menghidupkan bunganya, sebab cinta tidak merusak melainkan menumbuhkan dan menghidupkan. Dari situ ia tidak merusak batas batas kehidupan bunga.
Atau Imam Al Ghazali didalam karya monumental nya, ihya ulumuddin, beliau mengguar soal cinta, kata beliau :
عبارة عن ميل الطبع إلى الشيئ الملذ، فإن تأكد ذلك الميل و قوي سمي عشقا
"Cinta merupakan ungkapan tabiat yang condong kepada sesuatu yang dianggap lezat, namun jika kecenderungan nya sangat kuat maka itu dinamai cinta yang bergairah dan nafsu."
Selain cinta, Al Ghazali pun mendefinisikan benci untuk mengungkap hakikat cinta dan dari kaitan pengalaman dan pengetahuan nya tentang kelezatan. Yaitu ungkapan tabiat kebencian karena sesuatu yang menyakitkan dan menjengkelkan, jika rasa atau tabiat itu sudah mengakar kuat maka dinamai muqtan, yaitu kebencian.
Dari sini terlihat bahwa lawan dari cinta ialah benci, seperti lawan menyenangkan yaa menjengkelkan. Namun meski lawan terdapat juga sisi perbedaan bahkan perbedaannya nyaris tipis, yaitu dengan kata tidak. Cinta itu terdiri dari tiga hal, intimacy, passion dan comitment, jika tidak ada ketiga ini maka lahirlah kebencian, tidak intimacy (tidak ada hubungan yang intim), tidak passion (tidak ada rasa), tidak comitment (tidak ada komitmen). Makanya dari cinta ke benci itu nyaris sangat dekat.
Marthin Luther mengatakan :
Benci itu menghancurkan, sementara cinta membangunkan nya
Kebencian itu mengacaukan hidup dan cinta meng harmonis kan nya
Kebencian menggelapkan hidup, cinta menghidupkannya.
Dan kawan dari cinta ialah rindu. Rindu ialah ketenangan hati karena cinta dan keinginan untuk berjumpa serta berdekatan, demikian menurut imam Khafif. Cinta dan rindu selalu berdampingan dan beriringan seiring berjalan di jalan yang sama, bahkan keduanya saling mempengaruhi, yaa karena rindu itu hadir dan pengaruh dari cinta. Namun cinta lebih tinggi daripada rindu, sebab rindu muncul dari cinta. Kuat dan lemahnya rindu itu tergantung dari cinta.
Namun apakah kerinduan itu akan hilang setelah pertemuan? Rindu tidak akan hilang setelah oertemuan, karena rindu adalah perjalanan menuju sang kekasih. Jika telah sampai di hadapan kekasihnya maka akan berganti menjadi kesenangan. Kesenangan ini menyatu padu dengan cinta dan tidak mengenyahkannya. Bahkan lebih jauh rindu bisa bertambah karena pertemuan nya dan kedekatannya. Semua tergantung kedalaman cinta kepada yang dicintainya. Sedalam itu ia mencintai sedalam itu pula ia merindui.
Kembali lagi ke cinta versi Al Ghazali. Menurut beliau, bahwa seseorang tidak akan mencintai jika ia tidak mengetahui kelezatannya, karena kelezatan dan kenikmatan lahh penyebab ia cinta. Seperti madu, ketika kita tahu madu itu manis dan lezat rasanya maka seketika itu akan jatuh cinta pada madu, namun sebaliknya ketika madu itu pahit, rasanya tidak enak, maka seketika itu pula ia tidak akan menyukai madunya, bahkan benci. Makanya Al Ghazali menyebutkan :
وما يخلو عن استعقاب ألم و لذة لا يوصف بكونه محبوبا لا مكروها
"Setiap apapun yang kosong atau tidak ada sama sekali dari menerima kepedihan atau kebencian dan kesenangan maka ia tidak dapat disebut sebagai cinta dan benci."
Dari sini terlihat bahwa jika mengetahui kelezatannya dan sudah menemukannya maka ia akan cinta, sebaliknya jika mengetahui itu menjengkelkan maka ia akan benci. Artinya cinta itu tidak akan tergambar sama sekali jika kita tidak mengetahui dan menemukan sosok yang dicintainya, maka pengetahuan dan pencarianya yang akan menentukan nilai cinta kepada yang dicintainya. Rumusnya menurut Al Ghazali ketika menemukan dan merasakannya adalah ketenangan dan kedamaian maka ia akan dicinta, sebaliknya jika menemukanya adalah kebencian maka ia dibenci.
Disamping itu beliau pun mengklasifikasikan cinta menjadi lima pembagian;
1. Cinta kepada dirinya sendiri
2. Cinta karena jasa kebaikan pada dirinya
3. Cinta karena cantiknya, dan ini dilihat secara inderawi
4. Cinta karena sempurnanya sifat orang lain
5. Cinta karena adanya satu frekuensi dan kesamaan antara yang mencintai dan yang dicintai.
Pembagian yang di lakukan Al Ghazali adalah berdasarkan pengalaman dan sebab sebab yang kerap kali terjadi pada kebanyakan orang. Demikian hakikat, rumus, dan sebab cinta menurut Hujjatul Islam Al Imam Al Ghazali.
Namun perlu di ketahui bahwa hakikat cinta itu sendiri tidak bisa dibatasi dengan batasan batasan tertentu, semakin ia di batasi semakin sulit dilacak hakikatnya. Tidak ada yang dapat mensifati cinta dengan pas selain cinta itu sendiri. Makanya manusia hanya dapat sekedar berbicara pendorong nya, penyebabnya, tanda dan bukti cinta, namun tidak tau hakikat cinta.
Lalu kemudian apa ukuran ia cinta dan seberapa dalam ia cinta? Apa parameter kedalaman cinta?
Tentang hal ini Al Ghazali menjawab, bahwa ukuran kedalaman cinta seseorang ialah keridhoan, sebab ridho ialah buahnya cinta. Ridho yang dimaksud ialah rela, senang hati dan menerima apapun yang ditimpakan, entah itu baik atau buruk, yang penting yang dicintainya itu tidak murka, dan ia tidak benci terhadap apapun yang tertimpa padanya, itulah ridho. Lawan dari ridho ialah ash shakhatu yakni murka.
Oleh sebab itu orang yang sudah tenggelam kedalam samudera cinta maka tidak dapat disembunyikan bahwa cintanya itu akan memberi keridhoan kepada setiap perbuatan yang dicintainya. Dan ukuran keridhoan itu akan sangat diuji ketika sedang sulit sulitnya dan ketika tertimpa cobaan, makanya cinta akan diuji ketika di situasi sulit dan pahit. Ketika berhasil melewati situasi sulit maka ia telah ridho terhadap apapun yang menimpa nya, dan menerima seluruh kesejatian yang dicintainya, sebab itu Ibn Qayyim mengatakan :
"Orang yang mencintai tentu ridho terhadap kekasihnya dalam keadaan bagaimana pun."
Setelah meridhoi dan ridho kepada yang dicintainya maka ia akan rela berkorban, mengorbankan jiwa agar bisa bersama sang kekasih, semua di lakukan semua di korbankan karena keridhoan dan kerelaan, rela melakukan perjalanan pagi dan petang, melewati situasi rumit dan pelik, dingin dan panas.
Al Ghazali melanjutkan bahwa orang yang ridho terdapat dua bentuk, pertama, orang yang ketika ditimpa kesulitan ia tidak merasakan sakit, perih atau luka disebabkan ia telah ridha, tidak ada lagi kesedihan, sebab ia fokus, kata Imam Ghazali seperti layaknya orang perang, ia tidak akan merasakan sakit disebabkan fokus pada tujuanya yaitu kemenangan, sekalipun ketika masuk ke medan laga peperangan itu menghadapi kesulitan tapi ia tidak merasakan dan tidak dirasa kesulitannya, sakitnya yang penting tujuannya tercapai ialah kemenangan. yang kedua, ia merasakan sakit, perih atau luka tetapi ia rela dengan rasa sakit, perih dan lukanya. Jadi ketika ia mencintai seseorang lalu merasakan sakit dan terluka maka ia rela dengan luka dan sakitnya itu.
Kedua-keduanya adalah jenis ridho dan untuk mengukur kedalaman cinta. Yang pertama ia sakit namun tidak merasakan sakitnya, yang kedua ia rasakan sakitnya namun ikhlas atas sakit yang menimpannya.
Wallahu 'alam bi shawwab
Komentar
Posting Komentar