Ilmu Nahu dalam Sejarah dan Metodologi Perumusan Kaidah Nahu hingga Baku (Resensi buku Formulasi Nalar Nahu)

Oleh Sutan Irawansyah

Judul: Formulasi Nalar Nahu

Penulis : A. Muntaha Afandie, MLLCA

Penerbit : Indramayu, Pondok Pesantren Asy Syafi’iyyah

ISBN : 978-602-18853-1-4

Harga: Rp. 48.000

Ilmu Nahu yang kita kenal sekarang ini merupakan disiplin ilmu yang memuat rentetan kaidah-kaidah yang mengatur dan mengukur pembicaraan, penulisan sampai pembacaan bahasa arab supaya terhindar dari kesalahan, sehingga dengan sendirinya ilmu nahu termasuk bagian ilmu linguistic bahasa Arab. Beragam pendifinisian secara spesifik terhadap Nahu yang dideskripsikan oleh begawan-begawan nahu, termasuk didalamnya Abdullah bin Yusuf dalam kitabnya Al Manhaj Al Mukhtasor fi Ilmi Nahwi wa Shorfi, 

لغةً: من (نحا) أي: قَصَدَ، وسُمِّيَ بذلكَ لأنَّ المتكلِّمَ يَنحو (يقصِدُ) بتعلُّمِهِ كلامَ العَرَب.

واصطلاحاً: علمٌ بأصولٍ تُعرَفُ بها أحوالُ الكلمة العربيَّة من جهةِ الإعرابِ والبناءِ.

“Secara bahasa nahwu berasal dari nahaa, yang maknanya mengarah, dinamai denganya disebabkan yang berbicara mengarah kepada pembelajaran kalam arab secara istilah ilmu nahwu merupakan pokok-pokok untuk mengetahui keadaan kalimat Arab dari sisi I’rab dan bina nya.”

Definisi senada juga di ungkapkan oleh Syaikh Musthafa Ridha Al Azhariy, seorang ulama berdarah Mesir, yaitu ilmu ushul yang membahas keadaan akhir suatu kalimat dari segi irab dan bina nya. Disamping itu juga beliau memberikan buahnya ilmu nahwu, yaitu terjaga dari kesalahan dan lahn dalam pembicaraan, dan ilmu nahwu merupakan kunci memahami Al Quran dan Sunnah.

Diantara keutamaan disiplin ilmu ini di utarakan oleh Khalifah Umar ibn Khattab, beliau berujar : “Pelajarilah Nahwu dan Faraidh karena ia adalah bagian agamamu.” Imam syafi’I yang kita kenal sebagai Imam Mahdzab juga menerangkan keutamaan ilmu nahwu, “Barang siapa yang menyelam kedalam ilmu nahwu, maka ia akan menemukan setiap ilmu-ilmu.”

Namun urgensi mempelajari ilmu nahwu yakni untuk memahami Al Quran dan Sunnah, sebab itu berangkat dari urgensitas tersebut kebanyakan ulama menghukumi wajib untuk dipelajari, dengan bersandar pada sebuah kaidah ushul, memerintah sesuatu secara tidak langsung memerintahkan media-media lain yang bisa menyempurnakanya. Dengan kata lain memahami Al Quran adalah wajib, namun memahaminya tidak akan utuh tanpa peranti penopang, yang dalam hal ini ilmu nahwu, maka mempelajarinya wajib. 

Sehingga banyak para ahlu nuhat mulai berjibaku menyusun kitab-kitab nahwu dari bahasa arab sampai bahasa Indonesia, dari timur hingga nusantara tersebar ribuan kitab nahwu dengan beragam tingkatan dari yang mudah, menengah sampai yang sulit. Namun diantara sebaran disiplin ilmu nahwu dalam bentuk literature yang memuat rangkaian kaidah-kaidah, kiranya jarang dan nyaris langka yang membahas sejarah sampai metodologi membangun kaidah nahu hingga baku, atau yang disebut formulasi kaidah nahu. Maka ditengah kelangkaan ini adalah sosok pribumi asal Indramayu, bernama A. Muntaha Afandie, yang menyusun buku tentang sejarah sampai metodologi kaidah nahu hingga baku, dengan diberi judul formulasi nalar nahu.

Buku tersebut merupakan adopsi dari skripsi di fakultas adab dan humaniora IAIN Sunan Ampel, Surabaya, yang berjudul Manhaj Madrasah Al Bashrah fi Dirasah al Nahw al Arabi. Namun oleh penulis ditransliterasikan ke bahasa Indonesia dengan menyusun ulang, disertai pengurangan dan penambahan isi materi. 


SINOPSIS

Berbeda dengan buku nahwu pada umumnya yang familiar, memuat rangkaian kaidah-kaidah nahwu yang akan menjaga pembicaraan dari al lahn, kesalahan, buku kali ini tidak lagi membicarakan soal-soal kaidah nahu yang baku, melainkan membahas sejarah dan bagaimana kaidah nahu yang kita kenal sekarang ini bisa baku dan pakem. Jadi fokus kajian buku ini ialah histori dan metodologi Nahu, diungkap di dalamnya deskripsi peta perjalanan nahu hingga terbentuknya kaidah yang baku. Tidak lagi berbicara manshub itu dibaca fathah, marfu itu dibaca dhommah, majrur itu dibaca kasroh, melainkan mengapa kalimat ini dibaca fathah, dhommah atau kashroh, pertanyaan itu diungkap dengan beragam pendekatan.

Namun titik tekan kajian buku ini adalah historis ilmu nahu, dengan kata lain buku ini memoar sejarah ilmu nahu, bagaimana proses pengkajian, penelitian, sampai membentuk formula yang sempurna, disertai para begawan Nahu yang populer pada masanya dalam sejarahnya. Tetapi kajiannya tersebut difokuskan ke daerah Basrah, tidak ke Kufah, disebabkan Kufah pada saat itu belum turut andil dalam pengkajian ilmu nahu, juga belum memiliki corak pemikiran dan metode yang independen dalam kajian ilmu nahu yang berbeda dengan Bashrah. Karenanya Kufah pada saat itu masih fokus kajianya seputar qiraat, syair dan cerita-cerita Arab klasik. Hanya segelintir orang yang tertarik dalam kajian ilmu nahu. 

Buku formulasi ilmu nahu disusun dalam tiga bab, bab pertama membicarakan tentang sejarah ilmu nahu, dari mulai motif lahirnya ilmu nahu, tokoh peletak dasar ilmu nahu, peristiwa ilmu nahu menjadi disiplin ilmu yang mandiri, sampai peristiwa penamaan ilmu nahu itu sendiri. 

Kemudian di bab kedua kita di bawah ke alam Bashrah dengan peradabanya dan perbendaharaan ilmunya yang kaya, namun yang disoroti ialah sejarah Nahu di negeri Bashrah sampai terbentuknya kiblat bagi ilmu Nahu yang populer dengan sebutan Madrasah Bashrah. Di bab ini kita di ajak masuk untuk memahami tokoh-tokoh nahu Bashrah yang memiliki peran yang cukup vital dalam kontribusi membangun kaidah nahu, katakan seperti Al Khalil dan Sibawaih, sampai metodologi yang mereka pakai dalam membangun teori-teori nahu juga sumber primer dan sekunder yang mereka pakai sebagai objek material dalam penelitian mereka. Secara garis besar bab kedua ini menerangkan tiga fase pembentukan ilmu nahu sampai baku, yaitu fase formulasi dasar ilmu nahu, fase rekontruksi ilmu Nahu, dan terakhir fase kristalisasi ilmu nahu. 

Terakhir bab ketiga membabar soal formulasi nalar nahu madrasah Bashrah. Di bab ketiga ini baru secara spesifik di bahas tentang metodologi dan sumber-sumber atau data penelitian madrasah Nahu Bashrah dalam membentuk teori-teori Nahu. Terdapat tiga sumber data bagi penelitian mereka, yakni Al Quran, Hadits dan Kalam Arab yang representative.

Terkait Al Quran sebagai sampel penelitian yang digunakan Madrasah Nahu Bashrah, mereka menentukan kriteria atau prasyarat qira’ah yang kredibel bagi perumusan kaidah ilmu Nahu, pertama, muatawatir, dipastika mata rantai periwayatannya sampai Nabi, kedua, tulisannya harus sesuai dengan mushaf standar, ketiga harus sesuai dengan salah satu standar bahasa Arab. Oleh sebab itu ulama Nahu Bashrah melakukan penyaringan yang ketat dan selektif dalam memilih qira’ah Al Quran untuk dijadikan objek material penelitian dalam formulasi kaidah Nahu. Makanya jangan aneh bahwa begawan Nahu kebanyakan merangkap sekaligus sebagai imam Qiraat, bahkan termasuk qiraatu al asrah, seperti Abdullah bin Abi Ishaq Al hadrami atau juga Isa bin Umar Al Thaqafi. Hal ini juga di latari oleh motif awal perumusan ilmu Nahu pada masa Umar ibn Al Khattab yaitu untuk menjaga bacaan Al Quran dari kesalahan.

Kemudian sampel data yang kedua ialah hadits, ini menjadi data sampel yang kuat setelah Al Quran. Ulama nahu basrah menerapkan karakteristik hadits yang layak untuk dijadikan sumber perumusan kaidah Nahu, salah satunya hadits yang diriwayatkan bukan secara substansial melainkan tekstual, ini dilakukan untuk mengkaji ucapan Nabi yang orsinil dalam bertutur dan berucap, di latari oleh sebuah riwayat yang Nabi pernah mengatakan: “Saya orang Arab yang paling fasih dalam berbahasa Arab.” Sebagaiamana selektifitas ulama Nahu Bashrah dalam menjadikan qira’ah sebagai sampel penelitian, demikian juga hadits, mereka menentukan syarat yang ketat. Mereka mengklasifikasikan kualitas hadits, pertama, dapat dijadikan referensi bila diasumsikan redaksinya orsinil dari Nabi, kedua, tidak dapat dijadikan sumber jika keaslian redaksinya di ragukan, bahkan asumsinya lebih kuat di klaim sebagai redaksi dari perawi bukan orsinil dari Nabi. 

Ketiga, yaitu bahasa Arab yang representative. Adalah pasar Al Mirbad yang biasa dijadikan ajang demonstrasi suku-suku pedalaman dalam unjuk kebolehan mereka dalam berbahasa, baik bentuk syair, prosa dll. Maka bagi peneliti Nahu, sering mencuri kesempatan untuk mendengar kan mereka dalam unjuk kebolehan berbahasa buat dijadikan bahan sampel data penelitian. Hal ini dilakukan karena bahasa suku pedalaman masih orsinil, mereka berbicara dengan saliqah, atau naluri, bukan lagi hasil dari mempelajari teori. Namun tidak semua suku pedalaman layak dijadikan sampel data, karena disamping itu terjadi infiltrasi bahasa antara orang ‘ajam dan orang asli susku pedalamaan yang merupakan konsukwensi interaksi budaya yang mengharuskan adaptasi dua bahasa, yang akibatnya bahasa suku pedalaman sudah tidak orisinil lagi. Oleh sebab itu tidak semua suku pedalaman dijadikan referensi, karenanya mereka berpegang pada suku pedalaman yang terisolasi dari peradaban dan kebudayaan asing karena keontetikan bahasa mereka lebih terjamin. Cara datang ke pasal Al Mirbad ini dilakukan oleh mayoritas Ulama Nahu pada fase pra era Al Khalil (fase rekontruksi Ilmu Nahu) baru kemudian pasca fase rekontruksi ilmu Nahu, yang di tokohi oleh Al Khalil mulai datang lansgung ke suku pedalaman, bukan sekedar di pasar Al Mirbad saja. Suku pedalaman yang dikunjungi diantarannya, Nejd, Hijaz, Tuhamah dan suku-suku pedalaman lainya yag tersebar di Bashrah.

Para ulama Nahu dalam meneliti bahasa Arab tidak lah sembarang dan sesederhana itu, yang hanya mencari dan mengunjungi suku-suku pedalaman, oleh sebab itu mereka menentukan dua prasyarat ketat yang harus terpenuhi juga denganya standarisasi bahasa Arab yang argumentatif. Syarat pertama yaitu periode yang representative, kedua, suku badui yang kredibel kompetensi bahasa Arabnya.

Terkait periode yang representatif, menurut Al Rifa’I bahwa ulama Nahu Bashrah hanya menjadikan suku-suku pedalaman sebagai batu pijakan penelitian yang bahasanya masih kredibel terbatas pada dua periode, yaitu periode jahiliyyah dan al muhadramain. Narasi yang senada diungkapkan oleh Sallim Al Mukarram, ia mengungkapkan bahwa,”Adapun syair-syair arab yang pasih bisa menjadi pijakan argumentasi terbatas pada dua periode, yaitu pada masa pra-Islam dan yang yang menemukan dua budaya…”

Terakhir terkait suku badui yang kridibel, menurut Salim Al Mukarram diantaranya suku Qais, ‘Asad, Hudzail, sebagian suku Kinanah dan Al Ta’I, suku inilah yang dijadikan referensi dalam merumuskan kaidah Nahu sampai dalam bentuknya saat ini. Dan dari ketiga data diatas di analisis dengan pisau sima’ (Metode Tradisional), qias (Analogi), ta’wili (Intrepetatif) dan ta’lil (Eksplanatori) sampai menelurkan teori Nahu yang mapan dan baku yang kita kenal saat ini.


PENILAIAN

Lahir di Indramayu pada tahun 1984 itu bernama A Muntaha Afadnie, S.Hum., MLLCA. Pengembaraan intelektual pertama beliau diawali sebagai santri pondok pesantren lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Pengembaraan itu dilanjutkan ke International Islamic Call Colage, Tripoli, Libya. Namun disebabkan bergeloranya perang bersaudara akibatnya terpaksa beliau hijrah ke Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Beliau menyelesaikan program Magister Riset di bidang Linguistik Arab Modern di Faculté des Letters des Arts et des Humanites Université de la Manouba, Tunisia pada tahun 2018. Saat ini beliau tercatat sebagai PhD candidate dengan konsentrasi penelitian linguistic kognitif di kampus yang sama. Itulah selayang pandang potret penulis.

 Salah satu diantara karya A Muntaha Afandie yakni Formulasi Nalar Nahu, buku ini lahir dari sosok yang memang sudah pakarnya dalam bidang linguistic, sehingga karyanya yang salah satu ini tidak diragukan lagi keunggulannya, karena lahir dari rahim yang unggul. Buku ini seperti yang telah dibahas sebelumnya yaitu membahas bagian terpenting dalam kajian ilmu Nahu yaitu berbicara tentang historis Ilmu Nahu yang jarang diungkap di kebanyakan literature yang ada, terkhusus dalam bahasa Indonesia, meskipun ada pembahasan topic yang sama tapi dalam bahasa Arab.

 Pengkajian historis Ilmu Nahu yang dilakukan A Muntaha Affandie cukup komprehensif dan ilmiah-kontemporer dengan sajian narasi yang ringan dan mudah di cerna, terlebih bagi masyarakat awam, akan dengan sangat mudah diterima dan renyah. Dan pengkajian sejarah ilmu Nahu dari mulai tokoh-tokoh, peristiwa sampai perumusan kaidah Nahu yang baku dideskripsikan dengan runut dan di jabarkan seluruhnya dengan jelas dan tegas. Disamping itu buku ini sangat direkomendasikan bagi yang sedang fokus kajianya di linguistic arab, karena kiranya buku ini merupakan gerbang awal menuju pengkajian linguistic Arab ke tataran yang lebih luas.

Hanya saja terdapat sedikit kekurangan yaitu sedikit memaparkan contoh metodologi dalam perumusan kaidah Ilmu Nahu, seperti dalam bab ketiga yang membahas tentang metodologi madrasah nahu Bashrah dalam fomulasi Ilmu Nahu, mereka menggunakan empat metodologi, nah penulis sedikit memaparkan contoh-contoh kerja metode tersebut sampai menelurkan teori atau kaidah baru, sehingga agak sedikit ambigu dalam memahami, ditambah penulis terbatas pada tataran syarat-prasyarat kerja metodologi yang dipakai Madrasah Nahu Bashrah. Dan juga di bab dua yang memaparkan tokoh-tokoh sampai metode yang dipakai mereka, hanya sampai pendeskripsian tentang metode yang digunakan para begawan Nahu namun tidak tahu cara kerjanya. Namun hal dapat dimaklumi sebab kajian yang di soroti nya yaitu historis Nahu. Kekurangan ini tidak menutupi kelebihanya, da tidak sampai menjatuhkan, karena faktanya kelebihan lebih mendominasi ketimbang kekuranganya.


Diskusi dan bedah buku PJ Pemuda Persis Dayeuhkolot, tanggal 9 Desember 2021


Komentar