Bagaimanakah Sifat Ulul Albab itu?


Sutan Irawansyah

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal”. (Ali Imran [3] : 190)

Rekayasa alam atau yang biasa kita sebut sebagai sunnatullah merupakan suatu skenario Allah dalam mengatur dan mengurus alam, baik langit bumi atau malam dan siang, matahari dan bulan dll, itu semua ada dalam kuasa tangan-tangan Allah yang mengaturnya, sebab itu kita tidak dapat menolak apalagi membantah atas skenario-Nya. Dan sekaligus hal itu menjadi wujud nyata bahwa rekayasa alam ini secara langsung menjadi tanda-tanda kebesaran Allah, karena makhluk mana yang dapat mengatur alam sedemikian teraturnya selain Allah? Dan mustahil juga peraturan ini tidak ada yang mengaturnya.  Ayat-ayat kauniyyah inilah yang akan mengantarkan kita pada kesadaran akan kebesaran Allah Swt berdzikir kepada-Nya yang kemudian bertauhid dengan alam. 

Namun problemnya, tidak banyak orang yang melihat alam ini dan sunnatullah-Nya dijadikan sebagai penuntun menuju bukti kebesaran Allah dan melihatnya dengan penglihatan yang kosong tanpa kesadaran, dan yang terpenting adalah tanpa berpikir. Makanya tidak heran dalam ayat yang dikutip diatas Allah Swt menyebutkan “terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal” artinya melihat alam namun tidak sadar terhadap kebesaran-Nya karena memang tidak berpikir, dan konsukwensi logisnya berarti seseorang tidak bisa disebut berakal dan berpikir jika melihat fenomena-fenomena alam dan sekitarnya tidak mengantarkan pada kesadaran kepada kebesaran Allah, demikian juga sebaliknya. Kemudian oleh Allah disebutkan bahwa orang yang sadar akan kebesaran Allah melalui penglihatan fenomena alam dan sekitarnya dikategorikan sebagai ulul albab. Siapakah ulul albab itu? 

Sebelum menjelaskan Ulul Albab kita hadirkan terlebih dahulu asbab nuzul ayat diatas atau sebab-sebab turunya ayat tersebut. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa seorang tabi’in bernama Ibn Umair pernah sengaja menemui Aisyah untuk menanyakan amal apa yang paling dikenang Aisyah dari Nabi Saw. Aisyah menjawab bahwa pada suatu malam Nabi Saw meminta izin kepadanya untuk shalat tahajud. Beliau pun lalu shalat tahajjud sambil menangis, sampai membasahi janggut dan tempat sujudnya. Masuk waktu shubuh, Bilal menemui Nabi Saw untuk memberitahukanya shalat akan segera dimulai. Ketika Bilal melihat Nabi Saw menangis, Bilal pun bertanya:

قال : يا رسول الله لم تبكي وقد غفر الله لك ما تقدم وما تأخر ؟ قال : ( أفلا أكون عبدا شكورا لقد نزلت علي الليلة آية ويل لمن قرأها ولم يتفكر فيها { إن في خلق السموات والأرض } ) الآية كلها

“Kenapa anda menangis wahai Rasulullah, padahal Allah Swt pasti mengampuni dosa anda yang lalu dan yang akan datang? Nabi Saw menjawab: "Apakah tidak boleh aku menjadi hamba yang bersyukur? Sungguh telah turun kepadaku malam ini satu ayat, dan sungguh celaka orang yang membacanya tapi tidak mentafakurinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan laingit dan bumi terdapat tanda-tanda bagi orang-orang berakal” (Shahih Ibn Hibban, kitab raqaiq, bab at taubah no. 620)

Terkait ayat ini pun terdapat dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari; 

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ بِتُّ عِنْدَ خَالَتِي مَيْمُونَةَ فَتَحَدَّثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ أَهْلِهِ سَاعَةً ثُمَّ رَقَدَ فَلَمَّا كَانَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ قَعَدَ فَنَظَرَ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ{ إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ } ثُمَّ قَامَ فَتَوَضَّأَ وَاسْتَنَّ فَصَلَّى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ثُمَّ أَذَّنَ بِلَالٌ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى الصُّبْحَ

“Dari Ibn Abbas RA dia berkata; suatu ketika aku bermalam di rumah bibiku, Maimunah, aku  mendengar Rasulullah berdialog dengan istrinya sesaat. Kemudian beliau tidur. Tatkala tiba waktu sepertiga malam terakhir, beliau duduk dan melihat ke langit lalu beliau membaca; Ali Imran 190. Lalu beliau berwudhu dan bersiwak, kemudian shalat sebelas rakaat. Setalah mendengar Bilal adzan, beliau shalat dua rakaat kemudian beliau keluar untuk shalat shubuh”. (HR Bukhari, no. 4203)

Albab adalah bentuk plural dari Al Lubbu, seperti diungkapkan oleh Quraisy Shihab, Al Albab adalah bentuk jamak dari lubb yaitu saripati sesuatu. Kacang misalnya memiliki kulit yang menutupi isi. Isi kacang dinamai lubb. Ulul Albab adalah orang-orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh “kulit”, yakni kabut ide, yang dapat melahirkan kerancuan dalam ide. Atau Al Raghib Al Ashfahani menerangkan, 

 لب : الب العقل الخالص من الشواب و سمي بذلك لكونه خالص ما في الإنسان من معانيه كالباب والب من الشيئ

“Kata lubbu artinya adalah akal yang murni atau kosong dari cacat, noda-noda, atau kekurangan-kekurangan. Dinamakan demikian, karena ia merupakan suatu bagian dari manusia yang murni, bersih, atau kosong dari berbagai makna-makna atau sifat manusia itu sendiri. Dia ibarat intisari dari sesuatu"

Dalam konteks surat Ali Imran ayat 190 diatas Ulul Albab merupakan orang yang berpikir secara cerdas, jelas dan sempurna, mereka bukan seperti orang yang buta dan tuli yang tidak berpikir seperti dalam surat Yusuf [12] : 105-106; 

وَكَأَيِّنْ مِنْ آيَةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُونَ (105) وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

“Dan berapa banyak tanda-tanda (kebesaran Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, namun mereka berpaling darinya. Dan kebanyakan mereka tidak beriman kepada Allah bahkan mereka mempersekutukanya” 

Maka dengan kata lain Ulul Albab yaitu orang yang memikirkan sesuatu dengan pemikiran yang  cerdas, jelas dan sempurna. Kemudian selanjutnya siapa dan bagaimana sifat Ulul Albab itu? Kita perhatikan ayat selanjutnya, Allah berfirman: 

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“(Yaitu) orang-orang yang mengingat nama Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (Ali Imran [3] : 191) 

Ayat selanjutnya ini menerangkan sifat atau karakteristik dari Ulul Albab yang pertama yaitu berdzikir, mengingat kebesaran Allah Swt disaat berdiri, duduk, dan berbaring, dengan hati atau lisan. Yang dengan kata lain setiap saat setiap waktu, karena kalau kita perhatikan, aktivitas kita sehari-hari tidak akan jauh dari tiga posisi, yaitu berdiri, kalau tidak berdiri berarti duduk, kalau tidak duduk berarti berbaring. Oleh sebab itu penyebutan “sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring” menunjukan setiap waktu dalam keadaan mengingat Allah. Dari ayat ini kita dapat memahami suatu objek bagi dzikir adalah Allah. 

Yang dimaksud dengan dzikir disini, Al Raghib menjelaskan bahwa kadang-kadang dzikir dimaksudkan untuk mengartikan kondisi jiwa manusia yang menjaga (mengingat) pengetahuanya, dan hampir sama dengan menghafal, namun menghafal dilakukan untuk memperoleh sesuatu yang belum dia dapatkan, sementara mengingat dengan menghadirkan pengetahuan yang dia punya. Terkadang juga kata dzikir diartikan untuk mengartikan kehadiran sesuatu didalam hati atau lisan, dari kedua dzikir itu masing-masing memiliki dua jenis; ada dzikir dari lupa (berarti mengingat) dan ada dzikir untuk mempertahankan ingatan (berarti menguatkan hafalan) dan semuanya disebut dengan dzikir.

Diantara contoh ayat tentang dzikir lisan, firman-Nya; 

لَقَدْ أَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ كِتَابًا فِيهِ ذِكْرُكُمْ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya telah kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang didalamnya terdapat peringatan bagimu”. (Al Anbiya [21] : 10)

Yang dimaksud dengan dzikir dalam ayat ini adalah Al Quran. Dan diantara contoh dzikir dengan hati dan lisan adalah firman-Nya; 

فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ

“Maka berdzikirlah dengan menyebut Allah sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu” (Al Baqarah [2] : 200)

Lebih jelasnya lagi tentang dzikir dengan hati dan lisan dikutip dalam Fathul Bari Fakhru Razi menjelaskan;

قال الفخر الرازي المراد بذكر اللسان الألفاظ الدالة على التسبيح والتحميد والتمجيد والذكر بالقلب التفكر في أدلة الذات والصفات وفي أدلة التكاليف من الأمر والنهي حتى يطلع على أحكامها وفي أسرار مخلوقات الله

“Yang dimaksud dengan dzikir lisan adalah lafadz-lafadz yang membuktikan atas kesucian-Nya, pujian-Nya dan keagungan-Nya, dan dzikir dengan hati yaitu berpikir terhadap bukti-bukti dzat dan sifat-Nya dan dalam bukti terhadap petunjuk petunjuk berupa perintah dan larangan hingga naik ke tingkat hukum-hukumnya yang terdapat dalam rahasia ciptaan-ciptaan Allah Swt”

Singkatnya Ulul Albab berarti orang yang selalu berdzikir dalam artian mengingat dan menyebut nama-nama keagungan Allah baik dengan hati atau lisan disetiap waktu disaat berdiri, duduk, ataupun berbaring. 

Sangat banyak ayat-ayat Allah yang menyuruh kepada hambanya untuk senantiasa berdzikir kepada-Nya, bahkan disamping itu Allah menjanjikan ketentraman dan kedamaian bagi hambanya yang mendawamkan dzikir, seperti dalam surat Al Jumu’ah [62] : 10;

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah dimuka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung”

Bahkan didalam surat lain lebih ditegaskan bahwa ketentraman dan kedamaian hidup akan dicapai hanya dengan dzikir kepada Allah, firman-Nya;

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“(Yang akan mendapat hidayah Allah itu adalah) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan dzikir kepada Allah. Ingatlah hanya dengan berdzikir kepada Allah hati menjadi tentram”. (Ar Rad [13] : 28)

Dan memang itulah janji yang Allah berikan, ketika seseorang mengingat-Nya maka hati akan menjadi tenang dan selalu dekat dengan-Nya dan selalu berada didalam naungan hidayah-Nya, terhindar dari segala jenis kemaksiatan, kedzaliman, dan kedurhakaan kepada Allah, hidupnya akan terus disibukan dengan segala macam jenis amal-amal shaleh dan disitulah ketika manusia mengingat-Nya ia benar-benar hidup bukan hidup seolah-olah mati seperti layaknya zombie. 

Dan disamping ketentraman dan kedamaian bagi yang berdzikir Allah pun menyebutkan konsukwensi berat bagi yang tidak berdzikir kepada-Nya, firman Allah dalam surat Thaha [20] : 124, 

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

“Dan barang siapa yang berpaling dari dzikir kepada-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunya pada hari kiamat dalam keadaan buta”.

Yang dimaksud ayat tersebut Ibn Katsir menjelaskan, yaitu mereka hidup sempit di dunia tanpa ada ketentraman dan kelapangan, karena hatinya sempit dan sesak diakibatkan kesesatanya, meskipun secara lahiriyah kelihatan senang. Dalam surat Az Zukhruf ayat 36-37 dijelaskan bahwa mereka yang lalai dari dzikir kepada Allah akan menjadi qarinya setan atau teman setan, sehingga akibatnya hidupnya sibuk dalam kemaksiatan dan kedurhakaan kepada Allah.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah mengumpamakan orang yang mengingat Allah dengan yang bukan mengingat-Nya seperti orang yang hidup dan mati;

عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ

“Dari Abu Musa RA berkata; Rasulullah Saw bersabda: Perumpamaan orang yang mengingat Rabb-Nya dengan orang yang tidak mengingat Rabb-Nya seperti orang yang hidup dengan orang yang mati”. (HR Bukhori no. 5928).  

Sifat dan kriteria kedua dari Ulul Albab yaitu berpikir, yang ditunjukan dengan redaksi yatafakkaruna bi al khalqi as samawaat wa al ardh, yang artinya memikirkan penciptaan langit dan bumi. Terkait kalimat ini Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jaza’iri menjelaskan;

أي في إيجادهما وتكوينهما وإبداعهما ، وعظيم خلقهما ، وما أودع فيهما من مخلوقات

“Yaitu tentang penciptaan dan pembentukan langit dan bumi, keagungan penciptaan keduanya, dan apa yang Allah letakan didalam langit dan bumi berupa makhluk-makhluk-Nya”

Ibn Katsir pun menjelaskan yakni (ulul albab) memahami langit dan bumi berupa hukum yang menjadi bukti bagi keagungan, kekuasaan, ilmu, hikmah, pilihan dan rahmat Allah Swt. Dan Ibn Katsir mengutip perkataan Syaikh Abu Sulaiman; “Sesungguhnya aku keluar dari rumahku, lalu setiap sesuatu yang aku lihat, merupakan nikmat Allah dan pelajaran bagiku”

Artinya sifat Ulul Albab kedua adalah berpikir terhadap ciptaan langit dan bumi hingga mendapatkan hikmah, kebesaran dan keagungan Allah Swt. namun perlu dicatat sifat berpikirnya Ulul Albab bukan semata-mata berpikir terhadap alam melalui observasi panjang kemudian berkesimpulan terciptanya suatu teori baru, tapi berpikir hingga pada satu titik tauhid, yaitu kesadaran bahwa Allah-lah yang menciptakan semua ini. Artinya memperhatikan alam bukan sekedar melihat dengan pandangan yang kosong. Oleh sebab itu Allah mencela terhadap orang yang tidak dapat mengambil ibrah (pelajaran) tentang ciptaan-Nya yang menunjukan atas bukti kebesaran Allah, seperti dalam surat Yusuf [12] : 105-106 yang telah disebut diatas.

Terkait berpikir Al Hasan Al Bashri pernah mengatakan: “Berfikir sejenak lebih baik dari bangun shalat malam” artinya berfikir merenungi alam dan fenomena-fenomenanya adalah lebih afdhol dari shalat malam.

Maka orang yang memikirkan alam dan sekitarnya yang dibuktikan dengan ucapan selanjutnya, bahwa sungguh Allah tidak menciptakan alam ini secara sia-sia atau main-main malah Allah menciptakanya dengan hak dan terdapat hikmah didalamnya adalah Ulul Albab. Ucapan ini merupakan natijah atau kesimpulan upaya dari dzikir dan pikir. Inilah yang dimaksudkan oleh Allah dalam surat Fathir ayat 28;

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama” maksud ulama disini adalah orang-orang yang berilmu yang merenungkan dan memikirkan penciptaan alam semesta sampai tumbuh ketakukan kepada Allah. Jadi dengan ayat ini dapat kita memahami bahwa berpikirnya ulul albab selain sampai terlihat kebesaran-Nya tapi sampai pula ketakutan kepada-Nya. Dari sini pun kita dapat mengerti bahwa setiap ulama termasuk ulul albab tapi tidak setiap ulul albab termasuk ulama. 

Sederhananya sifat dan karakter utama Ulul Albab adalah tafakur dan dzikir. Kalau kita telaah dan usut lebih dalam tentang dua sifat ini adalah dua sifat yang seimbang, tidak boleh salah satu keduanya hilang atau bahkan dikotomis, bahkan justru keduanya harus integrasi dan memang keduanya pun saling membutuhkan. Seperti memikirkan terhadap alam niscaya akan mendapatkan kebesaran Allah, memikirkan alam itu mendorong pada titik kesadaran akan kebesaran Allah Swt. 

Sebab itu mendikotomikan keduanya atau bahkan menegasikan salah satunya adalah suatau kesalahan yang besar, berpikir tanpa berdizikir seseorang akan kehilangan arah, kehilangan petunjuk, hidupnya dibawah kebingungan-kebingungan senantiasa dihantui keraguan, berpikirnya menjadi liberal tanpa mementingkan batasan dan nilai-nilai syariat. Kita lihat hal yang terjadi di Barat, bagaimana mereka begitu mentuhankan rasionalnya, pemikiranya, akalnya, namun yang terjadi adalah kebobrokan, kedzaliman, kebiadaban dan tebal dengan kabut-kabut materialistik, menjadi sombong dan congkak. Karena dalam diri mereka terjadi kekosongan salah satu ruang sehingga hampa, yaitu moral-spiritualitas, dipisahkanya ilmu dan agama.

Demikian pula sebaliknya yang mengutamakan dzikir ketimbang pikir, berhenti sampai dzikir tanpa pikir akan meraih sedikit hikmah dari ribuan karunia hikmah Allah yang berlabuh dalam kehidupan ini. Karena hikmah Allah hanya akan diperoleh dengan memikirkan tanda-tanda kebesaran-Nya. Dan banyak firman Allah, salah satunya ayat yang tengah dibahas ini menerangkan tanda dan ciri orang yang cerdas atau berakal adalah yang berdzikir terhadap tanda-tanda kebesaran Allah Swt. 

Wallahu ‘alam bi shawwab. 


Referensi :

M Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah vol II, (Jakarta: Lentera Hati, 2005).

Al Raghib Al Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfadz Al Quran, (Beirut: Dar Al Kutub Ilmiyyah, 2013).

Ibn Hajar Al Asqalani, Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari jilid XI, (Beirut: Dar Al Ma’arif, tt). 

Muhammad Ali As Shobuni, Mukhtasor Tafsir Ibn Katsir jilid II, (Beirut : Dar Al Quran Al Karim, 1981).

Abu Bakar Jabir Al Jaza’iri, Aisar Tafasir li kalami aliyyi kabir, (Kairo: Dar Al Hadits, 2006).

Abdurrahman bin Nashir As Sa'di, Taisir Ar Rahman fi Tafsir Kalam Al Manan, (Ma'usasah Ar Risalah) 

Rifki Azkya Ramadhan, Magnum Opus 2020, (Bandung: Tsaqafah Press, 2020).




Komentar