Manusia Sempurna


Sutan Irawansyah

Manusia sangat menginginkan sebuah kesempurnaan, perempuan menginginkan suami yang sempurna, demikian sebaliknya, orang tua ingin anak yang sempurna. Namun parameter kesempurnaan setiap orang berbeda-beda disebabkan memiliki cara pandangnya masing-masing, tergantung sudut objek mana yang dilihat. Kalau merujuk Quran dan Hadits kategori manusia sempurna adalah yang tidak bisa lagi berubah dan diubah, karenanya manusia tidak akan disebut sempurna jika sebaliknya. Ketika manusia tidak bisa berubah dan tidak bisa diubah mengindikasikan ia sudah terlepas dari kehidupan dunia, dengan kata lain ia sudah wafat. Seperti hal nya buah, ia dikatakan matang ketika ia terlepas dari tangkainya, dan itu menandakan kesempurnaan buah yang sudah layak di konsumsi.

Namun problemnya, mereka menginginkan manusia sempurna yang masih hidup, maka pertanyaanya apakah ada manusia sempurna yang hidup?  ada satu ungkapan hadits:

عن أنس قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم كل بني آدم خطاء وخير الخطائين التوابين (روى الدارمي)

kullu bani adam khatha "setiap anak adam pernah berbuat salah" hadits ini sering dijadikan justifikasi kesalahan setiap orang berbuat salah dengan ungkapan ustadz juga manusia, pasti pernah salah atau gapapa salah juga, kita juga manusia kita salah dll, namun hadits itu belum beres, apabila dilihat dengan utuh kelanjutanya "khairu khathai attawwabin". Maka ketika berbuat salah jangan mengklaim "saya seorang manusia" namun harus menyadari kesalahanya kemudian tawwabun, bertaubat. Maka seseorang dapat disebut dia sempurna adalah ketika ia berbuat salah kemudian bertaubat dan meminta maaf terhadap orang yang didzaliminya dan terutama kepada allah Swt. 

Dari sini dapat dipahami bahwa manusia bertaubat adalah yang menyadari setiap kesalahannya kemudian menjauhinnya dan kembali kepada jalan Illahi Rabbi merupakan manusia yang sempurna. Namun kadang-kadang manusia terjebak pada definisi kesempurnaan hanya dari sudut materil ; cantik, tampan, kaya dll. Terlebih di zaman sekarang yang tengah dipopulerkan dengan istilah good looking, sehingga terpengaruh dan menguatkan paradigma materialistik dalam memaknai kesempurnaan, ini merupakan pikiran pragmatis yang terpengaruh oleh perspektif Barat dengan didukung arus informasi, politik dan ekonomi yang mendominasi. Akibatnya sebagian pemikiran kaum muslim terhegemoni oleh pemikiran Barat dalam memaknai segala hal –dalam hal ini kesempurnaan-, semua berangkat dari intruksi Barat, dan ironisnya kadang-kadang jadi ukuran kebenaran.

Taubatnya manusia menjadi ukuran kesempurnaanya disebabkan ia adalah jalan untuk kembali kepada fitrah atau kembali kepada kesucian diri dari lumpur kedurhakaan, dengan kata lain kembali kepada Rabbul izzati. Taubat merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendesak karena setiap manusia tidak akan lepas dari catatan-catatan dosa, sebagaimana yang Nabi sabdakan :

مَا مِنْ مُسْلِمٍ إِلَّا وَلَهُ ذَنْبٌ يُصِيْبُهُ الْفِيْنَةُ بَعدَ الْفِيْنَةِ

“Setiap muslim tentu terkena dosa yang menimpanya setiap waktu.” (HR. Thabrani dan Baihaqi)

 Seseorang yang bertaubat seperti bayi yang suci tidak memiliki dosa, sepeti diungkapkan oleh Anas Ibn Malik :”Seorang yang taubat dari dosa seperti orang yang tidak punya dosa, dan jika Allah mencintai seorang hamba, pasti dosa tidak akan membahayakanya”. Kemudian dilanjutkan dengan membaca ayat : 

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang suci.” (Al Baqarah [2] : 222).

Anas ibn Malik juga pernah mengabarkan kepada kami bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Tidak ada yang dicintai Allah melebihi seorang pemuda yang bertaubat”.

Pemaknaan taubat didefinisikan oleh Al Raghib Al Ashfahani dengan :

التوب ترك الذنب على أجمل الوجوه وهو أبلغ وجوه الاعتذار

“Taubat yakni meninggalkan dosa dengan cara yang terbaik. Ia dianggap sebagai bentuk permintaan maaf yang paling mengena.”

Kemudian Ar Raghib melanjutkan bahwa permintaan maaf itu terdapat tiga cara : pertama, adakalanya orang yang meminta maaf berkata saya tidak melakukanya, kedua, dia berkata : “saya melakukanya karena itu”, ketiga, atau berkata :”saya melakukanya dan berbuat buruk akan tetapi sekarang saya telah meninggalkanya”. Menurut Ar Raghib yang terakhir itu dinamakan taubat. Sedangkan taubat secara syar’i Ar Raghib menjelaskan :

ترك الذنب لقبحه و الندم على ما فرض منه والعزيمة على ترك المعاودة وتدارك ما أمكنه أن يتدارك من الأعمال بالإعادة فمتى اجتمعت هذه الأربع فقد كمل شرائط الوبة

“Meninggalkan perbuatan dosa karena jeleknya perbuatan tersebut, menyesali terhadap perbuatan yang telah dilakukan, bertekad kuat untuk tidak melakukanya lagi, dan memperbaiki sebisa mungkin perbuatan yang masih bisa diulang. Ketika keempat ini terpenuhi, maka sempurnalah syarat-syarat taubat.”

Lebih eksplisitnya lagi di jelaskan oleh Ibn Qayyim al Jauziyyah, bahwa taubat menurut penyampaian Allah dan Rasul-Nya, disamping meliputi hal-hal itu [1], juga meliputi tekad untuk melaksanakan apa yang diperintahkan dan mengikuti-Nya. Jadi menurut beliau bahwa taubat tidak sekedar membebaskan dari dosa, menyesal dan kemudian bertaubat namun didampingi tekad bulat untuk mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya dalam artian taat kepada Allah Swt.

Menurutnya hakikat taubat adalah kembali kepada Allah dengan mengerjakan apa yang dicintai-Nya dan meninggalkan apa yang dibenci-Nya. Karena itu Allah mengaitkan keberuntungan dengan pelaksanaan apa yang diperintah dan meninggalkan apa yang dilarang dalam firman-Nya surat An Nur ayat 31. Makanya menurut beliau terhadap ayat itu bahwa seseorang tidak akan beruntung kecuali dengan mengerjakan apa yang diperintah dan meninggalkan apa yang dilarang. 

Banyak ayat dan hadits yang menyeru manusia untuk bertaubat dari dosa-dosanya, bahkan di dalam Al Quran sendiri kata taubat dan derivasinya sekurang-kurang terulang hingga 87 kali, seperti terdapat dalam surat Hud ayat 11 Allah berfirman :

وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيرٍ

“Minta ampun kepada Tuhanmu, kemudian taubatlah kepadanya, maka ia akan memberimu kesenangan yang baik sampai masa yang telah ditentukan. Dan tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan akan diberi keutamaan. Tetapi jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku (Muhammad) sangat mengkhawatirkan adzab di hari yang akan besar itu menimpamu.” Dan di surat Nur ayat 31, firman-Nya :

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, hai orang-orang beriman, supaya kamu beruntung.”

Dari sini banyak para ulama menghukumi taubat wajib. Jika dosa dan maksiat itu terjadi antara seorang hamba dengan Allah Swt tidak ada kaitanya dengan hamba lain, maka cara meninggalkan dosa itu diperlukan empat syarat, sebagaimana yang disebutkan Al Raghib diatas : Pertama, meninggalkan perbuatan dosa, kedua, menyesalinya, ketiga, memiliki tekad yang kuat untuk meninggalkanya, keempat, memperbaiki semaksimal mungkin. Apabila keempat syarat ini tidak terpenuhi atau salah satunya tidak terlaksana maka taubatnya dinilai tidak sah.

Dan taubat yang sempurna adalah taubat yang bersamaanya meninggalkan perbuatan dosa dengan melakukan amal shaleh, atau dengan kata lain pada saat itu meninggalkan dosa pada saat itu pula mengerjakan amal shaleh, ini tercantum dalam firman Allah ;

وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا

“Dan barang siapa bertaubat dan mengerjakan kebajikan, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.”(Al Furqan [25] : 71). 

Menurut Imam Al Ghazali orang bertaubat dengan melihat keadaan taubatnya dan sikapnya terdapat empat tingkatan : 

Pertama, seorang yang bertaubat dan terus tetap bertaubat hingga akhir usianya. Di dalam hatinya ia berjanji tidak akan mengulangi perbuatan dosanya lagi, tentu saja hal ini di kecualilan atas kesalahan yang menurut kebiasaan manusia tidak dapat menghindarinya. Ini yang disebut  istiqamah dan kemantapan dalam taubatnya. Orang yang bertaubat seperti ini memiliki jiwa yang tenang nafsu muthmainah

Kedua, seorang yang bertaubat tetapi belum dapat melepaskan diri dari berbagai dosa yang menghinggapi nya. Hatinya tidak sama sekali terketuk untuk berbuat dosa, namun keadaanya yang selalu memaksa berbuat dan terjebak dosa. Saat dosa menghampirinya secara bersamaan ia juga bertaubat, dan menyesali perbuatanya. Taubat tingkat kedua ini lebih tinggi nilainya, tetapi lebih rendah mutunya dari yang tingkatan yang pertama. Jiwa orang semacam ini tergolong nafsu lawwamah

Ketiga, seorang yang bertaubat namun pada saat-saat yang tertentu ia di kalahkan nafsu dengan melakukan ragam maksiat. Dan ia sadar bahwa kemasiatan yang di lakukanya sengaja karena memang tidak mampu mengekang nafsu syahwatnya. Dalam waktu yang sama ia taat dan meninggalkan kemaksiatan. Hatinya terketuk untuk menghindari intruksi nafsu, namun kekuatan nafsunya seimbang dengan imanya. Orang yang seperti ini memiliki jiwa nafsu musawalah

Keempat, seorang yang bertaubat dalam batas waktu yang tertentu dan terbatas, pada waktu yang sama ia kembali menjerumuskan dirinya ke lembah kemaksiatan. Orang seperti ini tidak ada rasa penyesalan atas kemaksiatan yang di lakukanya dan sama sekali tidak ada keinginan untuk taubat. Jiwa yang seperti ini disebut nafsu amarah bissui. 

Wallahu 'alam bi shawwab. 


[1]  Menurut beliau banyak yang menafsirkan taubat untuk tidak kembali dosa, melepaskanya dan menyesalinya, yang tidak jarang pula sering dijadikan syarat bertaubat.


Referensi :

Al Raghib Al Ashfahani, Mu’jam Mufrodat Al Fadz Al Quran, (Beirut : Dar Kutub Ilmiyyah, 2013).

Ibnu Qayyim al Jauziyyah, madariju salikin bayna manazil iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, (Beirut : Dar Kutub al ‘Araby, 1996). 

Muhammad Fuad Abdul Baqi’, Mujam Mufahros Al Fadz Al Quran, (Beirut : Dar Kutub Ilmiyyah, 1981).

Haris Firdaus, Generasi Islam di ambang Pintu Kehancuran, (Bandung : Mujahid Press, 2003).

Komentar