Agama


Sebaik-baik manusia di mata Allah

Oleh : Sutan Irawansyah

Kalau kita masuk ke gedung-gedung tinggi, hotel-hotel megah nan mewah kita akan mendapati satu sudut ruangan, dimana ruangan tersebut hanya berhak di duduki oleh orang yang penting dan memiliki kepentingan, sebab itu orang yang tidak penting dan tidak penting kedudukanya tidak diperkenankan menduduki tempat tersebut, ruangan itu hanya dikhususkan bagi golongan very important person sinonim dari VIP, maka dari itu ruangan tersebut dinamakan VIP, dan itu biasa terpampang jelas dimuka pintu.

Itu hanyalah sebatas pandangan derajat manusia kepada sesama manusia yang fana, dengan penting dan tidak penting, serta tinggi dan rendahnya dijadikan tolak ukur derajat manusia sesama manusia.

Akan tetapi Allah Swt tidak pernah memandang manusia dari sudut kepentinganya atau pangkat dan hartanya, semua pada pandangan Allah sederajat sama pentingnya, pengembala tidak kalah pentingnya dengan pemimpin di kota-kota metropolitan, seorang penyapu jalan tidak kalah pentingnya dengan penjaga kesehatan, hanya yang membedakan dari mereka adalah nilai ketakwaan nya, tetapi realitanya di jaman yang dikatakan modern ini kita lupa terhadap pandangan Allah tersebut yang menilai kemuliaan dari sudut ketakwaan, setidaknya hal itu disebabkan alam pikiran kita didominasi oleh derajat sesama manusia yang fana dan terpaku padanya, menjadikan kita lupa dan tidak sadar terhadap padangan Allah, kepentingan dan pangkat dijadikan ukuran derajat kemuliaan manusia, dan anehnya mereka seakan bangga dengan pangkat dan harta yang dimilikinya dengan sanjungan dan pujian manusia yang  jelas menggiring kecelakaan. Singkatnya pandangan manusia digelapi oleh kegelapan materil dan terjerembab di kubangan materil sehingga tertutup cahaya penglihatan Allah, yakni sebaik-baik dari mereka adalah orang yang bertakwa, maka hidupnya terus di kelilingi rasa ketidaktentraman, kegelisahan dan di hantui bahaya.

Oleh sebab itu tidak disangkal marabahaya dan malapetaka sering kita dapati, dimulai dekadensi budi pekerti, dan kehilangan manusia sebagai manusia, halal dan haram tidak menjadi ukuran, semua mereka makan dengan tidak ditimbang. Semua itu bertolak dari mata batin yang gelap yang telah digelapkan oleh materiil sehingga sinar pandangan sebaik-baik manusia yakni yang takwa telah sirna. Padahal Allah Swt berfirman :

أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى

“Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja?” (QS. Al-Qiyamah [75]: 36)
Menurut Al-Qurthubi bahwasanya :


قَوْلُهُ تَعَالَى: (أَيَحْسَبُ الْإِنْسانُ) أَيْ يَظُنُّ ابْنُ آدَمَ (أَنْ يُتْرَكَ سُدىً) أَيْ أَنْ يُخَلَّى مُهْمَلًا، فَلَا يُؤْمَرُ وَلَا يُنْهَى 

“Allah Swt berfirman : “Apakah manusia”, yaitu anak adam mengira, “dia dibiarkan begitu saja”, yakni (mengira) bahwsanya ia ditinggalkan tidak diperhatikan, maka (mengira) ia tidak di perintah dan tidak di larang.” (Jami’ Al Ahkam Al Quran : Tafsir Al qurthubi).

Maksudnya bahwa manusia mengira mereka tidak diperhatikan begitu saja, yakni tidak diberi larangan atau perintah. Pada realitanya manusia memang benar-benar lupa dan tidak menyadari akan perhatian Allah pada setiap hambanya, sehingga banyak perintah yang dilanggar dan larangan yang dikerjakan, pula tidak sadar kelak akan diperhitungkan dan dipertanggungjawabkan setimpal dengan amalannya. Padahal iming-iming materil, gemuruh tepuk tangan dan sanjungan manusia tidak memberi jaminan keselamatan di dunia dan diakhirat, hanya orang taat yang membuahkan takwa, kelak akan selamat di dunia dan di akhirat, maka orang tersebut sebaik-baik pandangan dimata Allah Swt. Dan ini senada apa yang dituturkan Lukmanul Hakim ketika memberi nasehat kepada buah hatinya : “Wahai Anakku. Ketahuilah sesungguhnya dunia ini bagaikan lautan yang dalam, banyak manusia yang karam di dalamnya. Bila engkau ingin selamat, layarilah lautan itu dengan sampan yang bernama takwa, isinya iman dan layarnya adalah tawakkal kepada Allah Ta’ala”

Maka dengan kesadaran dan keyakinan dalam diri kita terhadap perhatian Allah Swt, kita akan tetap pada jalan keselamatan dan kemashlahatan senantiasa diri terbimbing pada arah cahaya kemenangan, dan dengan kesadaran dan keyakinan, bahwa sebaik-baik pandangan di mata Allah adalah muttaqien, maka kita akan berusaha sedapat mungkin guna meraih ketakwaan terseebut dan niscaya kita  akan terpelihara dari marabahaya dan malapetaka. Bilamana kita lupa dan tidak sadar sedikit pun, pada saat itu pula kita menjadi serendah-rendah manusia dan masuk dalam kategori golongan asfala saafiilin.

Dengan kesadaran itu juga kita akan senantiasa menjaga diri bukan menjaga harga diri dari kemaksiatan, kejahatan dll, dengan menjaga diri tersebut, ketika hendak melakukan sesuatu hendak ditimbang dan di takar dengan hati dan pikiran yang sehat, apakah halal atau haram, baik atau buruk?, bilamana  salah kita akan sadar dan menyatakan bahwa itu suatu kesalahan, dengan tidak terpengaruh oleh keturunan, jabatan dll, tapi diilhami oleh dalil Al Quran dan Sunnah, karena yang Allah perintah adalah menjaga dirinya bukan harga dirinya, dan kita melihat realita orang yang menjaga diri akan terjaga pula harga dirinya, tetapi orang yang menjaga harga diri belum tentu terjaga dirinya. Allah Swt berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
 
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka" (QS. At-Tahrim [66]: 6).

Kalau kita melihat ayat diatas terdapat satu penggalan kalimat قُوا yang bermakna jagalah diri kalian, dalam gramatika bahasa arab ayat tersebut berarti fiil amr atau kalimat  yang menunjukan perintah, dan berakar dari وقى    yang berarti menjaga, dari kalimat tersebut akan menumbuhkan kalimat التقوى. Secara asal arti takwa berarti wiqayah bermakna tameng, yakni sebagai pelindung dari serangan dan tergapan musuh yang senantiasa mengintai, kemudian pemaknaan tersebut berkembang menjadi : “menjaga diri dari sesuatu yang membahayakan”,

Lebih jelasnya Al Hasanul Bashrie menjelaskan : “mereka menjaga dari tiap-tiap yang diharamkan atas mereka, dan mereka menyerahkan tiap-tiap yang diridhoi atas mereka”. Maka orang yang bertaqwa adalah orang yang menjaga diri dari bahaya dan mala petaka, baik berupa kemaksiatan, kemadharatan dll.

Manusia dalam meraungi alam kehidupanya pasti mendapati duri deri dan derita keburukan yang bahaya, setidaknya dapat diklasifikasikan kepada dua jenis duri, yakni duri dunia dan duri akhirat, dimaksud duri dunia yakni terpaan bahaya yang menimpa jasmani atau fisik dan harta benda, adapun duri akhirat adalah adzab api neraka.

Pada dasarnya manusia seluruhnya mencari keselamatan dan menghindar diri dari malapetaka, maka menjaga dan menghindar diri dari duri dunia dengan berjalan pada jalan keselamatan yang telah digariskan oleh Allah dengan sunnahtullahnya, menghindar dari sakit maka manusia menjaga kesehatan, supaya tidak terjadi banjir dan kebakaran maka manusia tidak mengeksploitasi alam, dan seterusnya. Setiap upaya positif adalah wujud ketakwaan untuk melindungi manusia dari malapetaka baik secara individu ataupun kolektif.

 Takwa dalam arti menjaga atau menghindar dari duri akhirat adalah dengan keimanan yang luhur diringi ibadah dan amal shaleh,  menjalankan apa yang diperintah menjauh dari apa yang dilarang. Ringkasnya seluruh dimensi ajaran agama islam bila diamalkan mewujudkan ketakwaan. Tapi terkadang manusia bersifat timpang berat sebelah, banyak takwa dari duri dunia sedikit takwa dari duri akhirat, padahal Allah menuntut kedua-duanya.

lantas menimbang baik dan buruk atau halal dan haram dalam rangka pembangunan menjaga, melindungi dan menghindar diri duri-duri itu dengan apa?, Allah Swt befirman :

ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

“Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (QS. Al Baqarah [2] : 2)
Terkait “petunjuk bagi mereka yang bertakwa” yakni : 

وَقَدْ قَالَ السُّدِّيُّ عَنْ أَبِي مَالِكٍ، وَعَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَعَنْ مُرَّةَ الْهَمْدَانِيِّ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، وَعَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {هُدًى لِلْمُتَّقِينَ} يَعْنِي: نُورًا  لِلْمُتَّقِينَ.

As Suddi telah berkata : dari Abi Malik, dari Abi Saalih, dari Ibnu Abbas, dari Murrah Hamdaniy, dari Ibnu Mas’ud, dan dari Anas dan dari para sahabat Rasulallah Saw : (yang dimaksud Hudaan Lilmuttaqien), yakni : “Cahaya bagi orang-orang muttaqien (orang yang menjaga diri)” (Tafsir Al Quran Al Adzim : Tafsir Ibnu Katsir :1: 41).

Maka sebab itu Al Quran dinamakan Al Furqan yakni pembeda antara hak dan bathil, halal dan haram, maslahat dan mafsadat, dan Al Quran pula adalah pedoman bagi kita untuk menjaga diri dari segala bahaya dan celaka dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan sekemampuan yang dimilki, Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ 

“Wahai orang-orang beriman bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya.” (QS. Ali Imran [3]: 102). Lantas Allah Swt kembali berfirman :

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengar serta taatlah” (QS. At-Thagabun [64]: 16).

Menurut Ibnu Abbas antara dua ayat tersebut saling lengkap dan melengkapi, menurutnya bahwa maksud “sebenar-benar takwa” yakni takwa “bertakwa menurut kesanggupan”. Atau “taqwa yang semampunya” itu harus “takwa yang sebenar-benarnya”.
Maka kita menjaga diri dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan dengan kesanggupan masing-masing individu, dan pada ayat At-Thagabun dilanjutkan dengan “dengarlah serta taatlah”, ini adalah sebuah isyarat bahwa dimaksud sekemampunya bukan dengan bermalas-malas atau berleha-leha, melainkan kesigapan untuk sami’na wa atha’na. Artinya tidak ada kesusahan atau keberatan dalam rangka pembangunan ketakwaan karena membangunya pun menurut kadar masing-masing, dan ini senada dengan apa yang difirmankan Allah :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan”(QS. Al Baqarah [2]: 286).
Wallahu ‘alam bi shawwab.

Komentar