Agama


  

Taqlied Buta 

Oleh : Sutan Irawansyah

Berjalan dengan mata yang sehat dan segar adalah sebuah keselamatan menuju tujuan  hakiki yang senantiasa terjaga dari mara bahaya yang adakalanya menerpa di setiap perjalanan, bilamana sebaliknya berjalan dengan mata tertutup ataupun buta niscaya cahaya keselamatan tertutup oleh gelapnya buta senantiasa dia akan terjerumus kedalam lumpur kehinaan susah guna mendapatkan petunjuk, dikala berjalan dengan mata tertutup dia hanya akan mendengarkan orang yang mengintruksikanya guna mengarahkan perjalananya, kenapa demikian?, karena dia belum mendapatkan tongkat ijtihad ataupun ittiba. Walaupun dia dalam keadaan buta tetapi sudah memiliki tongkat ijtihad atau ittiba, dalam arti secara jasadiyah tertutup tetapi secara rohani terbuka cerah laksana bulan menyinari di malam.


Itulah ilustrasi dimana seorang yang memegang erat mazhabnya tanpa mengetahui keterangan, dalam agama di sebut dengan taqlied ialah meniru tanpa ada keterangan yang menguatkan. Penulis mengilustrasikan seorang yang taqlied buta dengan berjalan dengan keadaan mata tertutup atau buta, jelaslah demikian, mereka senantiasa di intruksikan ataupun mengikuti apa apa yang imam fatwakan atau seorang fuqaha fatwakan tanpa diringi keterangan yang menguatkan mereka seakan-akan berjalan dengan mata tertutup sedangkan si buta tersebut tidak mengetahui apakah yang di intruksikan itu menggiringnya kepada keselamatan atau mara bahaya? yang ada si buta hanya mendengar sahaja apa yang di fatwakan.

Terkait taqlied buta atau meniru tanpa ada keterangan sekiranya kita mengetahui terlebih dahulu apa yang disebut ijtihad, ittiba’, taqlied orang yang bekerja dalam demikian di sebut mujtahid, muttabi’, muqallid.

Ijtihad dalam arti asal ialah bersungguh-sungguh oleh ulama di artikan dengan bersungguh-sungguh memahami, memeriksa dll keterangan dalam Al-Qur’an dan Hadits, mereka para mujtahid mencari hukum suatu hal dari Al-Qur’an dan Hadits dengan jalan qias ataupun jalan lainya. Orang mujtahid sangat tinggi kedudukanya dan juga di puji dalam agama, bahkan boleh dibilang setiap insan mesti menjadi seorang mujtahid.

Ittiba’ yang arti asal ialah mengikuti dalam hal ini para fuqaha ataupun ulama mengartikan dengan mengikuti Rasul dan sahabat-sahabat Rasul terkait larangan perintah ataupun anjuran dengan di iringi keterangan dan nash yang jelas dan shahih, Muttabi’ mengetahui hal demikian dengan jalan membaca suatu kitab yang terdapat dalil-dalil atau dengan bertanya kepada ulama-ulama dengan dalilnya. Hanya sajah ketika seorang muttabi’ mendapat keterangan yang berebenturan mestilah muttabi’ tersebut menimbang mana yang shahih dan mana yang dhaif buat jadikan hujjah.

Taqlied asal arti ialah meniru, ialah meniru seoseorang ataupun seorang imam tanpa ada dalil ataupun keterangan dalam Al-Qur’an dan Hadits di tentang hal itu, orang yang di kena taqlid di sebut muqqalid, taqlied jelaslah di larang dalam agama
Firman Allah;
لاَتَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ( ق.بني اسرائيل 36)        

Artinya; Janganlah engkau turut apa yang engkau tidak tahu (Q. Bani Israil; 36)
Firman Allah;

فَاسْأَ لُوُااَهْلَ الذِّ كْرِاِنْ كُنْتُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ (ق. النحل43)
Artinya; Tanyalah kepada ahli Qur-an, kalau kamu tidak tahu (Q. Nahl; 43)

Yang dimaksud dengan ayat tanyalah kepada ahli quran itu ialah dari Al-Qur’an bukan dari hal pikiran.

Jelaslah bahwa Allah melarang orang bertaqlied buta melarang orang meniru dengan tidak ada keterangan yang shahih, Allah melarang demikian senantiasa menyelamatkan manusia dari lumpur kehinaan yang akan berujung kepada neraka jahannam. Bilamana sedikit saja dari pada kakinya menyentuh kubangan lumpur taqlid  berarti dia sudah siap berlumpur taqlid hingga kebadanya, dalam hal ini sedikit saja fatwa yang mereka taqlidi maka mereka sudah siap bertaqlid seluruhnya maka disini niscaya manusia menjadi seburuk buruk nya manusia.

Bahkan empat imam yang sering di jadikan pendapat kuat oleh sebagian kelompok dengan keadan buta , melarangya dengan tegas, Imam Hanafi berkata;
حرام على من لم يعرف دليلي أن يفتي بكلام
Artinya; “Haram bagi orang yang tak tahu dalil yang kupakai untuk memberikan fatwa dengan ucapanku”

Dengan gamblang Imam Hanafi melarang mengikuti fatwanya tanpa mengetahui dalil atau keterangan yang shahih, dalam ucapan beliau ini memberi makna bahwa yang mesti menjadi sebuah pegangan ialah dalil nya yang shahih bukan fatwanya.
Selanjutnya Imam Hanafi berkata:

ان كان قولى يخالف كتاب الله و خبر رسول فأتركواقولى
Artinya; “Apabila keadaan ucapanku ternyata bertentangan dengan Kitabullah (AlQuran) dan kabar Rasulullah (Hadits), maka hendaklah kalian tinggalkanlah ucapanku itu”

Imam Hanafi bukan untuk menyuruh memegang erat fatwanya dan bukan untuk menyuruh taqlid tetapi menyuruh agar berijtihad guna mengeluarkan suatu hukum yang berkenaan dengan hal itu, dengan hal demikian juga Imam Hanafi seakan-akan memerintah memeriksa kembali fatwa-fatwa nya guna di pertimbangkan kembali apakah pantas dijadikan hujjah atau tidak. Bahkan Imam Syafi’I melarang dengan tegas, larangan tersebut bisa di tinjau dari perkatanya:

كالّمسألة صحّ فيها خبر عن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم:
 بخلاف ماقلت فانا راجع عنها فى حيات وبعد مماتى
Artinya; “Setiap masalah yang memiliki keterangan hadits shahih dari Rasulullah  bertentangan  dengan apa yang kukatakan , maka aku akan rujuk (kembali) pada hadits yang shahih itu, dan meniggalkan pendapatku itu selama hayatku  dan sesudah hatiku.”

Imam Syafi’I dengan tegas menyatakan bahwa setiap fatwanya di ambil dari Al-Qur’an dan Hadits yang shahih, dan bilaman terdapat dalam fatwanya tidak segaris dengan Al-Qur’an dan Hadits beliau akan rujuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits yang shahih.

Jelaslah sudah bahwa taqlid itu terlarang oleh agama dan dengan tegas Allah melarangnya dan juga yang mereka taqlidi (imam yang empat) pun melarang umatnya untuk taqlid buta kepadanya, malah yang mereka taqlidi (imam yang empat) seakan-akan memerintah membuka kembali pintu ijtihad dan menutup kembali rapat-rapat pintu taqlid yang niscaya akan menjerumuskan kepada kubangan kehinaan.
Dalam agama hanya ada ijtihad dan ittiba’ sahaja selebihnya dari itu tidak ada, walaupun dengan jalan ijtihad itu tidak bisa maka mestilah dengan jalan ittiba’ itulah anjuran umat islam sekalian yang mesti dilakukan, bukan dengan jalan taqlid yang menghinakan, bilamana umat islam tetap saja bersihkukuh ingin menguatkan taqlid sebagai jalan mengambil suatu hukum yang berkenaan dengan fiqih ataupun yang lainya maka bersiap-siaplah umat sekalian merasakan ganasnya jilatan api neraka jahannam.
Jelaslah akibat daripada taqlid ia akan senantiasa saling menguatkan pendapat para fuqaha ataupun imam yang mereka pegangi niscaya akan terus berseteru sampai-sampai susah untuk mengimplementasikan khairu ummat ( sebaik-baik umat) perseteruan itu akan berujung kepada pecah belah dalam tubuh umat islam, sesudah berpecah belah mereka akan jumud keras susah untuk di tegor ataupun di beri nasihat karena mereka sudah keras dalam berpikir dan pendirianya.

Hendaklah umat islam sekalian berjauh diri dari penyakit taqlid, karena bid’ah-bid’ah itu terbit dari taklid, dan juga kita sekalian akan tinggal bodoh dan jahil bilamana kita masih saja memakai selimut taqlid  maka demikian, Sudah saatnyalah kita menanggalkan taqlid itu agar senantiasa kita sekalian terselamat dari mara bahaya, dan juga sudah saatnya kita kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits sebagai tombak segala-galanya dan sebagai sumber pengambilan suatu hukum, dan bukakanlah kembali mata ijtihad dan ittiba’ agar kita selamanya tidak tersesatkan.
Wallahu a’alam bi shawwab

Komentar